REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Energi Nasional (DEN) menyebutkan saat ini posisi Indonesia sudah memasuki fase 1 dari siklus pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebagaimana disyaratkan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Anggota DEN Satya Widya Yudha dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, mengatakan untuk menyelesaikan fase 1 itu, IAEA mensyaratkan harus memenuhi 19 item dan Indonesia sudah menyelesaikan 16 item.
Tiga item lagi yang belum yaitu posisi nasional Indonesia, pembentukan Organisasi Pelaksana Program Tenaga Nuklir atau NEPIO yang memonitor implementasi energi nuklir, dan soal keterlibatan seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat.
"Kalau Indonesia sudah memenuhi sisa tiga item yang disyaratkan IAEA pada fase 1 itu, maka Indonesia bisa masuk pada fase Go Nuklir," ujar Satya dalam webinar "Nuclear as Clean & Sustainable Energy".
Satya menambahkan sesuai Kebijakan Energi Nasional (KEN) Tahun 2014, pemanfaatan nuklir di Indonesia menjadi opsi terakhir, setelah masalah keselamatan kerja, keselamatan operasi, dan pengaruh radiasi yang membahayakan terselesaikan.
"Artinya, apabila kita bisa menanggulangi permasalahan itu, maka pembangkit nuklir dimungkinkan dibangun di Indonesia," ujarnya.
Satya juga mengatakan energi nuklir merupakan energi bersih, ramah lingkungan, dan berkelanjutan dibandingkan bentuk energi lainnya.
Menurut dia, keuntungan nuklir antara lain tidak ada pembakaran, tetapi melalui pembelahan atom sehingga tidak mengeluarkan gas CO2 atau NH4, memerlukan lahan paling sedikit sehingga tidak mengganggu ekosistem, membutuhkan paling sedikit bahan bangunan dan bahan bakar, memiliki paling sedikit limbah, serta tidak membahayakan atau membunuh satwa liar saat beroperasi.
Terkait KEN 2014 Satya mengatakan DEN akan mengevaluasinya kembali guna menyesuaikan dengan kondisi terkini.
Menurut dia, sesuai Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 KEN dapat ditinjau kembali paling cepat setelah lima tahun apabila dipandang perlu.
KEN ditetapkan pada 2014 atau kini sudah berumur lebih dari enam tahun, sehingga dapat dievaluasi.
Menurut Satya, urgensi penyusunan kembali KEN adalah asumsi makro yang digunakan sudah tidak sesuai lagi.
"Asumsi pertumbuhan ekonomi yang dipakai saat itu di kisaran 7-8 persen, sementara saat ini sudah berbeda. Ditambah lagi, kondisi pandemi COVID-19, yang menekan perekonomian kita, sehingga revisi KEN menjadi sangat dimungkinkan," katanya.
Sesuai UU, DEN merancang dan merumuskan KEN untuk ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR. KEN itu menjadi dasar bagi DEN menetapkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).