REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Maman Faturohman mengatakan, terbitnya surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang seragam sekolah tak bertentangan dengan kurikulum yang ada. Dia pun menegaskan, dalam konteks pembelajaran, SKB tersebut tidak bertentangan.
Menurut dia, guru masih diperkenankan memberi motivasi maupun dorongan kepada peserta didik untuk berbusana sesuai dengan syariat agama yang diyakini masing-masing, termasuk jilbab. “Dalam konteks pembelajaran dan tidak bertentangan dengan SKB tiga menteri, tidak ada paksaan dalam beragama, insya Allah tidak masalah (mendorong dan memotivasi siswa berbusana sesuai syariat agama masing-masing),” kata Maman saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (17/2).
Lebih lanjut dia menjabarkan, hadirnya SKB tiga menteri dimaksudkan agar peserta didik diperbolehkan memilih atribut dengan kekhususan agama. Namun, pemerintah daerah tidak dapat melarang ataupun mewajibkan peserta didik menggunakan atribut keagamaan. Mengenai bagaimana guru-guru agama dapat menyampaikan pendidikan mengenai ajaran menutup aurat terhadap peserta didik, pihaknya menyebut bahwa dibutuhkan penjelasan dan diskusi yang matang tentang kewajiban tersebut. Dengan cara dan diskusi yang baik, dia yakin guru akan mampu menyampaikan poin-poin kewajiban dalam ajaran agama.
Di sisi lain, pihaknya menambahkan, terdapat banyak cara yang bisa dilakukan agar kompetensi kurikulum bisa tercapai dengan cara-cara yang baik. Dalam hal dikeluarkannya SKB tiga menteri, dia menjelaskan, perubahan kurikulum bersifat dinamis. Kurikulum, ujar dia, tidak berkaitan langsung dengan isu atau hal tersebut. “Kurikulum kan bersifat dinamis dan perubahan kurikulum adalah hal lain yang tidak berkaitan dengan isu seragam sekolah ini,” kata Maman.
Direktur Pendidikan Agama Islam (PAI) Direktorat Pendidikan Islam (Pendis) Rohmat Mulyana menyampaikan, SKB tiga menteri yang diterbitkan hanyalah imbauan yang menekankan pentingnya etika berseragam dengan pakaian ciri khas agama. Namun, yang tidak diperbolehkan, kata dia, adalah penyeragaman seragam sekolah pada lingkungan sekolah yang heterogen. “Menyeragamkan pada lingkungan yang heterogen, nah, inilah yang tidak boleh. Apalagi menyeragamkan agama yang berbeda, itu yang tidak boleh,” kata Rohmat.
Dia pun menyinggung mengenai adanya kompetensi di dalam kurikulum yang memerintahkan guru untuk menyampaikan nilai-nilai agama. Kompetensi itu, menurut dia, tetap harus disampaikan. Guru agama dinilai memiliki wewenang untuk menyampaikan kepada peserta didik untuk menutup aurat. Apabila peserta didik tersebut memiliki kesadaran mengenai nilai-nilai agama tentang berbusana, kesadaran itu diharapkan akan menjadi kebiasaan positif sesuai dengan semangat moderasi.
Rohmat menekankan kembali bahwa pemerintah tidak akan melarang guru untuk memotivasi peserta didik menggunakan seragam sekolah dengan atribut keagamaan yang diyakini masing-masing. “Kalau karena SKB tiga menteri ini dianggap menghilangkan kewajiban guru untuk memotivasi siswa dengan nilai-nilai agama, ya, tidak begitu. Kita bukan negara yang menganut paham-paham sekuler, hanya ya itu tadi, menyeragamkan busana di lingkup yang heterogen inilah yang tidak dibenarkan,” kata dia.