REPUBLIKA.CO.ID, LIBREVILLE -- Perdana Menteri Gabon Christiane Ossouka Raponda mengatakan dua orang tewas dalam gelombang unjuk rasa yang terjadi di beberapa kota. Jumat (19/2) warga Gabon turun ke jalan memprotes peraturan pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Kamis (18/2) malam petugas keamanan melepaskan tembakan gas air mata dan granat kejut ke sejumlah pemukiman di Ibukota Libreville dan Port Gentil. Polisi berusaha membubarkan massa yang memukuli panci dan membentuk barikade dengan puing-puing dan ban yang dibakar.
"Kemarin sore, dua kompatriot kami tewas dalam unjuk rasa menentang kebijakan protektif ini," kata Raponda dalam pernyataannya.
Pekan lalu Gabon membatasi pergerakan keluar dan masuk ibukota dan menambah jam malam. Jam malam dimulai dua jam lebih awal dari sebelumnya dari pukul 20.00 - 06.00 menjadi dari 18.00 - 06.00. Kebijakan yang bertujuan memperlambat penyebaran virus korona ini memicu amarah warga.
"Kebijakan 18.00 keras dan tidak masuk akal," kata mahasiswi hukum Sarah Lewoubi.
Ia menambahkan sebagian besar pekerja dan mahasiswa Gabon yang tidak memiliki mobil kesulitan sampai di rumah sebelum jam malam di mulai.
"Jam kerja berakhir jam 16.00 dan tidak mungkin kami bisa sampai ke rumah sebelum jam 20.00 karena kemacetan dan halangan lainnya, jadi pemerintah harus meninjau ulang persoalan ini," kata Lewoubi.
Sejauh ini Gabon telah melaporkan 13.107 kasus infeksi virus korona dan 75 kasus kematian terkait virus tersebut. Kini negara Afrika tengah itu mengalami wabah gelombang kedua dengan melaporkan 133 kasus baru per hari.
Raponda mengatakan peraturan pembatasan sosial akan dilonggarkan setelah wabah baru turun menjadi 50 kasus per hari. Ia yakin hal itu dapat dicapai pada bulan Maret.
"Langkah-langkah ini diterapkan tidak untuk mengganggu kesenangan kehidupan kita sehari-hari tetapi untuk melindungi nyawa dan kesehatan kita," katanya.