REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Para penentang kudeta Myanmar kembali turun ke jalan pada Sabtu (20/2) waktu setempat. Kini giliran anggota etnis minoritas, penulis, penyair, dan pekerja transportasi turut dalam protes massa untuk menuntut diakhirinya kekuasaan militer serta pembebasan tokoh politik yang ditahan, termasuk Aung San Suu Kyi.
Protes terhadap kudeta militer 1 Februari tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Sebab para demonstran masih ragu terhadap janji militer untuk mengadakan pemilihan baru dan menyerahkan kekuasaan kepada pemenang.
Beberapa ribu pengunjuk rasa juga berkumpul di kota utara Myitkyina, ibu kota Negara Bagian Kachin. Dalam beberapa hari terakhir, polisi dan tentara menggunakan tongkat dan peluru karet untuk membubarkan massa.
Massa juga berbaris lagi melalui ibu kota kuno Bagan dan di kota Pathein, di delta sungai Irrawaddy. Di kota kedua Mandalay, penulis dan penyair mengadakan pawai dan kemudian para pekerja kereta api juga memprotes.
Protes tersebut lebih damai daripada demonstrasi yang ditindas dengan darah selama hampir 50 tahun pemerintahan militer langsung hingga 2011. Selain protes oleh warga tersebut, kampanye pembangkangan sipil telah melumpuhkan banyak bisnis pemerintah.
Seorang pengunjuk rasa wanita meninggal setelah ditembak polisi pekan lalu. Ini menjadi kematian pertama di antara para pengunjuk rasa dalam demonstrasi yang berjalan lebih dari sepekan.
Pada Sabtu (20/2), para pemuda di kota utama Yangon membawa karangan bunga dan meletakkan bunga di upacara peringatan untuk perempuan yang tewas. Amerika Serikat (AS) juga mengungkapkan belasungkawa atas kematian itu dan mengutuk penggunaan kekerasan terhadap para demonstran.