REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI—Pemerintah India mengecam pengamatan kritis terhadap India yang dilakukan utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selama dua hari di Jammu dan Kashmir.
Dalam kunjungan yang disebut UN Special Rapporteurs itu, tim yang terdiri dari 24 utusan asing itu ditugaskan untuk menyaksikan secara langsung keadaan dan persoalan minoritas dan kebebasan beragama yang terjadi di Jammu dan Kashmir sejak status semi-otonom kawasan itu dicabut pada Agustus 2019.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan Kantor Hak Asasi Manusia Komisi Tinggi PBB (OHCHR), pelapor khusus untuk masalah minoritas, Fernand de Varennes, dan pelapor khusus untuk kebebasan beragama atau Berkeyakinan, Ahmed Shaheed, mengungkapkan keprihatinannya atas keputusan New Delhi 2019 untuk mengakhiri status semi-otonom Jammu dan Kashmir, dan membatasi tingkat partisipasi politik Muslim dan minoritas lainnya.
Sementara itu, menanggapi tuduhan memaksa "perubahan demografis" di Jammu dan Kashmir, yang merupakan satu-satunya wilayah mayoritas Muslim di India, Pejabat New Delhi mengatakan bahwa orang-orang itu dapat menikmati hak yang sama setara dengan warga negara di negara lain. “Mengenai kekhawatiran akan perubahan demografis, adalah ketakutan yang tidak berdasar. Karena mereka telah memegang sertifikat penduduk permanen (PRC),” kata pejabat India itu.
“Siaran pers itu gagal mempertimbangkan langkah-langkah yang bertujuan untuk mengakhiri diskriminasi selama puluhan tahun, mengabadikan demokrasi melalui penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang sukses untuk Dewan Pembangunan Kabupaten, dan memastikan pemerintahan yang baik melalui program kembali ke desa,” ujar juru bicara kementerian luar negeri India Anurag Srivastava, mengacu pada pemilihan tingkat lokal di Wilayah Persatuan Jammu dan Kashmir (UT) yang dikelola pemerintah federal pada Mei tahun lalu.
Pejabat India itu juga mempertanyakan...