Ahad 21 Feb 2021 13:52 WIB

Pasal Pencemaran Nama Baik Disebut Susupan

Pasal pencemaran nama baik disebut paling sering disalahgunakan.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Aidul Fitriciada Azhari menyampaikan pendapatnya saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim MK oleh Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (6/2/2019).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Aidul Fitriciada Azhari menyampaikan pendapatnya saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim MK oleh Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (6/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Aidul Fitriciada Azhari menilai tujuan awal pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memberikan perlindungan hukum dalam ranah transaksi elektronik. Menurutnya, pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik justru seakan dipaksakan masuk dalam undang-undang tersebut.

"Apa hubungannya persatuan dan kesatuan dengan perdagangan internasional, jadi ini dua hal yang bertentangan yang seolah-olah ini dipaksakan masuk ke dalam undang-undangnya tentang ITE ini," ujar Aidul dalam diskusi daring yang disiarkan akun Youtube SmartFM, Ahad (21/2).

Adapun dalam revisi yang dilakukan pada 2016, hanya menegaskan penghinaan atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat 3 dikaitkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Definisi penghinaan dalam revisi adalah jika seseorang menyampaikan dengan sengaja tuduhan dengan tujuan mempermalukan pihak atau seseorang.

"Tujuannya mempermalukan, tapi benar. Kalau pencemaran nama baik, dia fitnah konten atau substansinya," ujar Aidul.

UU ITE, kata Aidul, pada dasarnya dibuat untuk memberikan payung hukum terhadap segala hal yang berkaitan dengan perdagangan elektronik, mengikuti kemajuan teknologi informasi dunia internasional. Sedangkan pasal pencemaran nama baik dilihatnya sebagai susupan di dalamnya.

"Ini pasal susupan ke dalam satu undang-undang transaksi perdagangan elektronik atau e-commerce. Seharusnya ini (pasal pencemaran nama baik) ditempatkan dalam undang-undang yang lain yang terkait dengan cyber crime," ujar Aidul.

Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada 2008, M Yasin Kara mengakui produk hukum tersebut dirancang untuk memberi perlindungan kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan teknologi informasi. Namun saat ini, ia melihat pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik yang paling sering digunakan.

"Hanya itu (pasal pencemaran nama baik) yang disalahgunakan yang sekarang ini, yang favorit itu. (Pasal) Yang lain-lain itu berjalan baik-baik saja," ujar Yasin.

Saat ini, ia melihat bahwa ada sejumlah pasal lebih sering digunakan untuk hal-hal yang bersifat tendensius. Hal inilah yang membuat pasal-pasal tersebut seakan menjerat pihak-pihak yang melakukan aktivitas di media sosial, padahal mereka tak melibatkan publik di dalamnya.

"Misalnya foto-foto pornografi dikirim antara dua orang, kemudian di-intercept oleh seseorang dengan cara teknologi. Kemudian dia bisa membuktikan ini terjadi transaksi elektronik, padahal tidak melibatkan publik. Intersepsinya aja sudah salah, tapi polisi menerima sebagai suatu kasus," ujar Yasin.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement