Ahad 21 Feb 2021 20:30 WIB
Wawancara Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan

SKB Perlu Direvisi karena Timbulkan Ketidakpastian Hukum

Pendidikan tak hanya tetapi mentransfer ilmu pengetahuan tetapi penanaman nilai-nilai

Rep: Andrian Saputra/ Red: A.Syalaby Ichsan
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Amirsyah Tambunan.
Foto: dok. Istimewa
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Amirsyah Tambunan.

REPUBLIKA.CO.ID, Surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang penggunaan seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik dan tenaga pendidikan masih menuai pro dan kontra. Terdapat kekhawatiran di kalangan guru, khususnya para guru agama, karena ancaman saksi bila melanggar SKB tersebut. Bagaimana padangan Majelis Ulama Indonesia tentang SKB tiga menteri? Wartawan Republika, Andrian Saputra, mewawancarai Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan untuk mengulas masalah ini. Berikut kutipannya.

Bagaimana sikap MUI atas dikeluarkannya SKB tiga menteri?

Sesuai surat (tausiyah) MUI terkait SKB tiga menteri, MUI menyampaikan tanggapan pertama MUI menghargai dan memberikan apresiasi. SKB ini memberikan kebebasan pada masing-masing peserta didik menggunakan pakaian sesuai dengan keyakinan masing-masing. 

Di sisi lain, MUI berpandangan perlu dilakukan revisi karena dapat berimplikasi yang bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Ada dalam nomor dua di surat tausiyah MUI yang isinya ada tiga. Ketentuan pada diktum ketiga dari SKB ini mengandung muatan dan implikasi yang berbeda. Pertama, implikasi "pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh melarang penggunaan seragam dengan kekhasan agama tertentu" karena memberi perlindungan pelaksanaan agama dan keyakinan masing-masing peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan. Kedua, ketentuan yang mengandung implikasi “pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan mensyaratkan, dan mengimbau penggunaan seragam dengan kekhasan agama tertentu”, harus dibatasi pada pihak (peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan) yang berbeda agama, sehingga tidak terjadi pemaksaan kekhasan agama tertentu pada pemeluk agama yang lain. 

Ketiga, pewajiban, perintah, persyaratan, atau imbauan itu diberlakukan terhadap peserta didik yang seagama, pemerintah tidak perlu melarang. Sekolah dapat saja memandang hal itu bagian dari proses pendidikan agama dan pembiasaan akhlak mulia terhadap peserta didik. Hal itu seharusnya diserahkan kepada sekolah, bermusyawarah dengan para pemangku kepentingan (stakeholder), termasuk komite sekolah, untuk mewajibkan atau tidak, mengimbau atau tidak. Pemerintah tidak perlu campur tangan pada aspek ini.

Baca juga : Survei: Publik Lebih Suka Capres Militer-Sipil

SKB tiga menteri membuat guru-guru agama khawatir akan mendapat sanksi? Bagaimana menurut Anda? 

Tentang sanksi itu dalam SKB kan disebutkan, oleh sebab itu sanksi inilah yang kita (MUI) minta direvisi. Sebab, posisi SKB itu dengan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) bahwa posisi hierarki perundang-undangan itu setelah konstitusi adalah undang-undang. Sedangkan SKB itu posisinya tidak disebutkan dalam UU PPP. Itu posisi SKB tidak menjadi kekuatan hukum tetap. Maksudnya tidak boleh memberikan sanksi, posisi SKB tiga menteri. Itulah yang kita minta direvisi agar tidak menimbulkan kekhawatiran dan ketidakpastian hukum, itu yang kita usulkan untuk direvisi.

Bila ada guru agama Islam mengimbau pada siswanya untuk menggunakan jilbab apakah terkena sanksi?

Jadi, anak-anak yang seagama, guru yang seagama tidak boleh diberikan sanksi. Di SKB itu tidak ada kalimat melarang memakai jilbab, yang ada tidak boleh memaksa (menggunakan seragam atribut agama). 

Jadi, seperti apa sebaiknya redaksi dalam SKB tersebut?

Jadi, kita minta revisi, karena menimbulkan ketidakpastian hukum terutama pada diktum ketiga. Kalau kalimatnya memberikan kebebasan masing-masing agama untuk menggunakan pakaian sesuai khas keagamaan itu malah lebih bagus. Misal bagi umat Islam karena itu kebebasan ya, menurut Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945, itu kan boleh.

Pemerintah hendaknya membuat kebijakan yang memberikan kelonggaran kepada sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah untuk membuat pengaturan yang positif yang arahnya menganjurkan, membolehkan, dan mendidik para peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agama sesuai keyakinannya, termasuk dalam berpakaian seragam kekhasan agama. Hal ini sejalan dengan Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945. 

MUI berpandangan bahwa pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi penanaman nilai-nilai (transfer of values), dan pengamalan ilmu serta keteladanan (uswah). Oleh karena itu, sekolah yang memerintahkan atau mengimbau peserta didik dan tenaga kependidikan agar menggunakan seragam dan atribut yang menutup aurat, termasuk berjilbab, merupakan bagian dari proses pendidikan untuk mengamalkan ilmu dan memberikan keteladanan.

Baca juga : Pahala Sholat Berjamaah di Rumah Sama dengan di Masjid?

Bagaimana pendapat Anda dengan sanksi bagi pelanggar SKB, bahkan dapat berdampak pada dana bantuan sekolah? 

Itulah yang saya sampaikan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) hierarki SKB itu tidak disebutkan dalam pasal 7, maka tidak boleh memberikan sanksi. Itu yang minta kita revisi. SKB pada diktum kelima huruf d, yang menyatakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan sanksi kepada sekolah yang bersangkutan terkait dengan bantuan operasional sekolah dan bantuan pemerintah lainnya yang bersumber dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, adalah tidak sejalan dan bertentangan dengan Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan ayat 2 Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement