REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD – Presiden Pakistan, Arif Alvi, mendesak pemimpin di Parlemen Prancis untuk tidak menanamkan sikap diskriminatif terhadap Muslim ke dalam undang-undang dan memperingatkan bahwa langkah-langkah tersebut akan menyebabkan dampak serius dalam bentuk kebencian dan konflik.
"Anda (Prancis) perlu menyatukan orang dan tidak mencap agama dengan cara tertentu untuk menciptakan ketidakharmonisan dan bias," kata dia pada konferensi internasional tentang kebebasan beragama dan hak-hak minoritas, Sabtu (20/2).
Dipandu Kantor Kepresidenan, acara tersebut dihadiri Menteri Agama Pir Noorul Haq Qadri, Sekretaris Parlemen Shunila Ruth dan Duta Besar Uni Eropa untuk Pakistan Androulla Kaminara.
Presiden Alvi mengatakan, undang-undang Prancis tidak sejalan dengan Piagam PBB dan bertentangan dengan semangat harmoni sosial yang sebelumnya ditanamkan Eropa dalam masyarakatnya.
“Jangan sampai ada langkah mundur untuk situasi yang muncul karena permusuhan dan situasi yang dibawa oleh orang-orang yang tidak tahu tentang Islam yang sebenarnya,” ujar dia.
Alvi mengatakan kerusakan mungkin tidak terlihat saat ini, tetapi pada akhirnya akan berakhir dengan skenario kebencian dan permusuhan yang mengerikan.
"Memberi label pada seluruh agama dengan cara yang berbeda dan mulai mengambil tindakan pencegahan terhadap seluruh komunitas memicu fakta bahwa jika tidak sekarang, itu akan berdampak sangat buruk dalam 10 tahun mendatang," kata dia dilansir di pakobserver.net.
Dia mengatakan Barat sedang dikomunikasikan pemerintah Pakistan bahwa penistaan terhadap Nabi Muhammad (SAW) atas nama kebebasan berekspresi dan beragama dianggap seluruh umat Islam sebagai penghinaan terhadap kepribadian yang dihormati.
Pernyataan Presiden itu mengacu pada RUU yang disahkan oleh parlemen Prancis pada Selasa (16/2) dengan mayoritas sepakat untuk memperkuat pengawasan masjid, sebagai tindakan diskriminasi terhadap Muslim.
Sumber: pakobserver