REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dadang Kurnia, M Nursyamsi, Antara
Peristiwa terdamparnya 52 ekor paus pilot di Bangkalan, tepatnya di Pantai Desa Patereman, Kecamatan Modung, Pulau Madura, Jawa Timur, sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Ada sejumlah alasan yang menyebabkan ikan paus bisa terdampar ke pantai. Terkait insiden terdamparnya 52 ekor paus pilot pekan lalu diduga karena masalah navigasi.
Kepala Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Analitika Data, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dr Dewi Hidayati, menjelaskan terdamparnya puluhan ekor paus pilot di Bangkalan pada Kamis (18/2) ditengarai karena adanya perubahan navigasi. "Kemungkinan ada karena perubahan navigasi pada paus. Hal itu bisa terjadi karena beberapa faktor, salah satunya faktor cuaca," ujar pakar biologi kelautan ini di Surabaya, Senin (22/2).
Ia memaparkan dalam periode tertentu ikan paus akan melakukan migrasi yang dilakukan secara berkelompok, yang umumnya paus bermigrasi melalui perairan Indonesia adalah jenis paus pilot. Sebanyak 52 ekor paus yang terdampar tersebut diperkirakan berasal dari perairan Australia dan akan melewati perairan Indonesia.
Dewi mengatakan dalam jurnal dari journals.org tentang aktivitas migrasi paus, bahwa migrasi akan mencapai puncaknya pada Februari dan Mei. "Pada penelitian tersebut dan juga beberapa laporan lain menyebutkan bahwa paus umumnya akan melewati jalur sama untuk bermigrasi," ucap dia.
Mengenai kemampuan paus bisa mengingat jalur dilalui setiap tahunnya, kata dia, hal ini bisa dilakukan berkat adanya biomagnitit. Yakni zat pada retina cetacea yang mempunyai fungsi sebagai indra magnetis untuk membantu mengetahui ke arah mana bergerak.
"Sehingga ini membuat paus peka terhadap perubahan medan magnet bumi," kata Dewi.
Ia juga menjelaskan bahwa dalam referensi artikel ilmiah berjudul In-depth Whale Navigation: Navigating the Long Way Home karya Robin Marks dikatakan bahwa paus yang mengikuti jalur magnet ini kemungkinan besar akan terdampar di daerah jalurnya berbelok. "Kemungkinan termasuk di beberapa perairan pantai Pulau Madura dan kawasan Selat Madura," katanya.
Selain faktor cuaca ekstrem, beberapa faktor lain, yakni gelombang sinar matahari, perubahan garis pantai, paus sakit, dan bisa saja dari aktivitas kilang minyak di sekitar perairan turut mempengaruhi perubahan navigasi paus. "Karena ada juga referensi yang mengatakan bahwa rig (bangunan lepas pantai) dijadikan patokan magnetik bagi paus," tuturnya.
Dosen yang merupakan anggota Laboratorium Zoologi dan Rekayasa Hewan Biologi ITS ini menyimpulkan, sebenarnya banyak teori terkait anomali ini karena banyak kasus yang terjadi namun penyebabnya belum diketahui secara pasti. Ia mengamati bahwa pada saat ini masyarakat dengan kearifan lokalnya telah melakukan beberapa upaya penyelamatan.
Diharapkan ke depannya, masyarakat lokal bersama institusi terkait dapat membuat protokol langkah mitigasi dalam menangani kasus paus terdampar. Sebab tidak hanya sekali terjadi di Indonesia.
Menurut dia, dengan respons yang tanggap dari masyarakat diharapkan bisa membantu paus untuk kembali melakukan perjalanan migrasinya. "Besarnya tubuh pauslah yang menyebabkan ia tak dapat bermanuver kembali ke laut, sehingga dibutuhkan bantuan langsung dari manusia," tuturnya.
Dewi menganjurkan langkah-langkah yang dapat dilakukan masyarakat saat ini untuk mengatasi masalah paus terdampar di pantai adalah memprediksi kapan dan di mana peristiwa paus biasanya terdampar. "Bisa digalakkan untuk membangun pos paus di sekitar pantai, pos ini berfungsi sebagai pemantau kondisi pantai, juga bisa sebagai media edukasi paus," katanya.
Apabila masyarakat melihat paus-paus terdampar, lanjut dia, ia menganjurkan untuk menjaga paus tetap dalam keadaan basah karena penyebab paus mati karena kehilangan kadar air di tubuhnya secara drastis. Langkah ini bisa dilakukan dengan menyiramnya dan membasahi tubuh dengan air laut, atau dengan segera melepasnya ke laut kembali. Bahkan jika tidak memungkinkan, untuk mengurangi penderitaan, beberapa referensi ilmiah menyarankan euthanasia.
Tidak semua 52 ekor paus pilot ditemukan mati. "49 ditemukan dalam kondisi mati, 3 ekor berhasil diselamatkan dan dilepasliarkan kembali ke laut di Selat Madura," ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Dirjen PRL) KKP, Tb Haeru Rahayu, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (19/2).
Data KKP yang dihimpun oleh Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar, ucap Haeru, mencatat kejadian terdampar terakhir pada 2016 di Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur sebanyak 32 ekor paus dengan spesies yang sama, short-finned pilot whale.
Haeru menjelaskan penyebab terjadinya paus pilot terdampar akan didalami lebih lanjut. Salah satunya melalui nekropsi yang akan dilakukan beberapa dokter hewan dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya dan dokter hewan dari Flying Vet Indonesia. Tim mengambil sampel sebanyak tiga ekor paus dan akan menentukan berapa ekor yang akan dinekropsi.
"Dugaan sementara salah satu paus, pimpinannya, sakit sehingga rombongan paus ini mengikuti pimpinan paus pilot yang sakit dan menunggu di pinggir pantai. Secara alamiah, paus yang sakit akan ke pinggir pantai dan akhirnya mati," ungkap Haeru.
Haeru menyebut perilaku paus pilot bergerombol yang dipimpin satu pilot yang ukuran tubuhnya lebih besar. Dari pengukuran lapangan, kata Haeru, diperoleh panjang tubuh paus pilot yang terdampar bervariasi antara 2 hingga 3,5 meter. Paus yang paling besar diidentifikasi berjenis kelamin betina dengan panjang 3,5 meter.
"Salah satu dugaan mengapa paus pilot berupaya hingga ke Selat Madura yakni dikarenakan paus sedang migrasi di perairan tropis Indonesia dan salah satu daerah rupayanya adalah Selat Madura seperti yang terjadi pada 2016," ucap Haeru.
Haeru menilai dugaan La Nina atau gelombang besar belum bisa dikonfirmasi menjadi penyebab. Kata Haeru, gelombang saat kejadian berkisar antara 0,5-1,5 meter. Haeru menambahkan upaya yang dilakukan tim mengacu pada Pedoman Penanganan Mamalia Laut Terdampar yang diterbitkan KKP.
Haeru mengungkapan kejadian paus pilot saat ini dikategorikan kode 1 yaitu ada yang masih hidup dan kode 2 yaitu baru saja mati. Prinsip penanganannya adalah triase, yaitu menyelamatkan yang hidup terlebih dahulu dan melakukan penanganan dengan cara menguburkan yang mati.
"Saat kejadian 52 ekor paus ditemukan mati, air laut sedang surut dan dasar pantai yang berpasir sehingga menyulitkan upaya evakuasi penyelamatan paus yang hidup," kata Haeru.
Haeru menyampaikan tim mengumpulkan paus yang hidup berjumlah tiga ekor dan melepaskan ke laut dengan cara mengelompokkan dengan jarak tertentu. Bangkai paus akan dikubur di daerah yang aman. Tim akan mengupayakan mengangkut paus-paus tersebut dengan bantuan peralatan eskavator dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang ada dan dibantu masyarakat setempat.