REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan tidak dalam kapasitas berpendapat setuju atau tidak terkait penerapan hukuman mati kepada para koruptor. Saat ini kebijakan KPK kepada pelaku koruptor hanya menghukum pidana dan menyita asetnya.
"Hukuman mati khususnya dalam penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi secara normatif dapat diterapkan sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Namun, KPK sebagai bagian dari aparat penegak hukum tentu tidak dalam kapasitas berpendapat setuju atau tidak terkait penerapan hukuman mati," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dihubungi Republika.co.id, Senin (22/2).
Kemudian, Ali melanjutkan dalam penghukuman pelaku korupsi, kebijakan KPK saat ini tidak hanya menghukum pidana badan berupa penjara sebagai efek jera. "Tapi juga memaksimalkan pemulihan hasil tindak pidana korupsi/ asset recovery melalui tuntutan denda, uang pengganti maupun perampasan aset lainnya," ujarnya.
Sebelumnya diketahui, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengaku tidak sepakat dengan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Ketua Komnas HA Ahmad Taufan Damanik menilai kasus korupsi bukan termasuk dalam kategori pelanggaran pidana HAM berat.
"Korupsi, narkoba dan lain-lain itu tidak termasuk itu (pelanggaran HAM berat)," katanya dalam sebuah diskusi virtual terkait hukuman mati bagi koruptor, Ahad (21/2).
Taufan menjelaskan, secara internasional hukuman mati hanya diberikan kepada pelaku genosida, kejahatan kemanusiaan, agresi dan kejahatan perang yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Korupsi, sambung dia, berada di bawah tingkat pelanggaran HAM berat.
"Hukuman mati itu hanya diizinkan untuk tindak pidana yang disebut the most serious crime sedangkan korupsi hanya masuk dalam kriteria serious crime bukan the most serious crime yang pelanggaran HAM berat seperti yang empat tadi," katanya.