REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo mengaku siap dihukum mati dalam mempertanggungjawabkan perkara suap yang dituduhkan padanya. Edhy menantang KPK membuktikan status tersangka suap perizinan ekspor benih lobster yang ditetapkan padanya.
"Jangankan dihukum mati, lebih dari itu pun saya siap yang penting demi masyarakat saya," kata Edhy usai menjalani pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Senin (22/2).
Dia mengklaim tidak akan menutupi kesalahan kalau memang terbukti. Namun, ia mengaku tidak bersalah sehingga siap menjalani persidangan. "Silakan proses peradilan berjalan, makannya saya lakukan ini. Saya tidak akan lari dan saya tidak bicara bahwa yang saya lakukan pasti bener, enggak," kata dia.
Mantan wakil ketua partai Gerindra itu mengaku kerap mengingatkan anak buahnya tidak melakukan korupsi. Menurut dia, jika saat itu dirinya mengetahui adanya peristiwa korupsi, maka akan berusaha menghentikan dan melarangnya.
Edhy berseloroh, jika berniat korupsi, maka sudah dilakukan melalui pengeluaran izin kapal ikan. Dia telah menerbitkan 4.000 izin dalam waktu satu tahun menjabat sebagai menteri.
"Banyak peluang korupsi, Anda lihat izin kapal yang saya keluarkan ada 4.000 izin dalam waktu 1 tahun saya menjabat. Bandingkan yang tadinya izin sampai 14 hari, saya bikin hanya 1 jam," kata dia.
Edhy juga membantah telah membeli sebuah vila di Sukabumi, Jawa Barat yang kini disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia mempersilahkan tim penyidik KPK menelusuri kepemilikan bangunan tersebut.
"Ya silakan saja lah, semua kepemilikan itu kan atas nama siapa dan sebagainya juga enggak tahu," kata dia.
Dia tidak menampik pernah ditawari membeli sebuah vila. Namun, dia tidak membeli bangunan tersebut menyusul tingginya harga bangunan yang ditawarkan. "Saya pernah ditawarkan memang untuk itu, tapi kan saya enggak tindak lanjuti, harganya mahal juga," katanya.
KPK menyita sebuah vila di Desa Cijengkol, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat pada Kamis (18/2) lalu. Villa dengan luas sekitar 2 hektar itu diduga merupakan milik Edhy Prabowo yang dibeli menggunakan uang dari para eksportir ekspor benih lobster.
Selain Edhy, KPK menetapkan enam orang tersangka lain dalam kasus tersebut. Mereka adalah stafsus Menteri KKP Safri dan Andreau Pribadi Misanta; Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK) Siswadi, staf istri Menteri KKP Ainul Faqih dan Amiril Mukminin; dan Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama Suharjito.
Dari semua tersangka, baru Suharjito yang tengah menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Dia didakwa memberi suap Rp 2,1 miliar kepada Edhy Prabowo agar dapat memuluskan perusahaannya sebagai eksportir benih lobster di KKP tahun 2020.
KPK pada Senin kemarin juga memeriksa enam orang terkait perkara suap tersebut. Mereka adalah Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (SDM) KKP, Sjarief Widjaja; dua orang notaris PPAT Dhodi Ananta Rivandi Widjajaatmadja dan Selasih J Rusma; seorang mahasiswa Yunus Yusniani; dan dua karyawan swasta Dina Susiana dan Sahridi Yanopi.
Mereka dimintai keterangan untuk tersangka Edhy Prabowo. "Diperiksa sebagai saksi untuk tersangka EP dalam perkara suap perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perkanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, kemarin.