REPUBLIKA.CO.ID, oleh Amri Amrullah, Rr Laeny Sulistyawati, Sapto Andika Candra, Mimi Kartika
Pemerintah memutuskan untuk mengurangi jumlah cuti bersama pada 2021 dari sebelumnya 7 hari menjadi tinggal 2 hari. Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri.
“Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) sebelumnya terdapat 7 hari cuti bersama. Setelah dilakukan peninjauan kembali SKB, maka cuti bersama dikurangi dari semula 7 hari menjadi hanya tinggal 2 hari saja” ujar Muhadjir dalam Rapat Koordinasi di Kantor Kemenko PMK, pada Senin (22/2).
Cuti bersama pada 2021 yang dipangkas sebanyak 5 hari, yakni 12 Maret: cuti bersama dalam rangka Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW, 17, 18, 19 Mei: cuti bersama dalam rangka Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah, dan 27 Desember: cuti bersama dalam rangka Hari Raya Natal 2021.
Sementara, cuti bersama yang tidak dihapus, yakni pada 12 Mei dalam rangka Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah, dan 24 Desember dalam rangka Raya Natal 2021. Pertimbangan mengapa masih diberikan satu hari menjelang Hari Raya Idul Fitri dan satu hari menjelang Natal, agar memudahkan Polri dalam mengelola pergerakan masyarakat.
“Jangan sampai terjadi penumpukan pada satu hari dan justru akan berbahaya,” imbuh Muhadjir.
Muhadjir juga menjelaskan beberapa alasan pengurangan libur, yakni kurva peningkatan Covid-19 belum melandai meski berbagai upaya sudah dilakukan. Seusai libur panjang juga ada kecenderungan kasus Covid-19 mengalami peningkatan ketika mobilitas masyarakat cenderung naik.
“Oleh karena itu, Pemerintah perlu meninjau kembali cuti bersama yang berpotensi mendorong terjadinya arus pergerakan orang sehingga penularan meningkat,” tuturnya.
Pemerintah juga tetap mengimbau agar masyarakat menjalankan 5M protokol kesehatan dan berusaha bersama-sama memutus rantai penularan Covid-19.
“Sekali lagi ditegaskan bahwa Tahun 2021 Cuti Bersama dipotong 5 hari dari 7 hari yang ada,” imbuh Menko PMK.
Sebelum pemerintah resmi memangkas cuti bersama, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pekan lalu telah memberi sinyal untuk tetap membatasi pergerakan masyarakat saat periode mudik Lebaran, Mei 2021 mendatang. Jokowi mengacu pada data statistik yang menunjukkan terjadinya lonjakan kasus Covid-19 setiap usai libur panjang yang jadi pelajaran.
Jokowi merinci, sepanjang 2020 lalu masyarakat Indonesia melalui empat kali periode libur panjang. Seluruh periode libur panjang tersebut selalu menyumbang lonjakan kasus Covid-19 hingga lebih dari 40 persen.
"Ini yang terakhir (Imlek) yang belum kelihatan. Tetapi yang tahun baru dan sebelumnya lebih dari 40 persen. Ini saya sudah ngomong jangan diulangi lagi, sudah. Jangan diulang lagi, Kita sudah empat kali mengalami, kalau kita ulang lagi kebangetan kita," ujar Jokowi dalam dialog bersama sejumlah pimpinan media massa di Istana Merdeka, Rabu (17/2) lalu.
Hanya saja, Jokowi menambahkan, pembahasan kebijakan mudik Lebaran masih dirampungkan di level Kementerian Koordinator. Berbagai opsi dipertimbangkan, termasuk apakah menerapkan kebijakan pembatasan libur Lebaran seperti 2020 lalu atau ada alternatif lain.
"Mengenai mudik ini masih dibicarakan dengan antarmenko. Apakah seperti tahun lalu (atau opsi lain). Hanya modelnya seperti apa itu yang belum bisa kita sampaikan mengenai mudik," kata Jokowi.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin (BGS) juga sejak dini mengimbau masyarakat untuk membatasi mobilitas saat libur Hari Raya Idul Fitri 2021 mendatang. Hal ini dilakukan agar kasus konfirmasi positif Covid-19 tidak melonjak setelah hari libur panjang.
"Liburan panjang besar berikutnya adalah liburan Lebaran. Ini tolong diimbau agar kalau bisa kita lakukannya terbatas saja di rumah saja," ujar BGS dalam konferensi pers daring, Sabtu (20/2).
Ia tidak ingin upaya pencegahan penularan maupun pengendalian Covid-19 yang dilakukan saat ini tidak sia-sia. Menurut dia, ketika ada liburan panjang, rata-rata kenaikan kasus konfirmasi positif Covid-19 melonjak hingga 30-40 persen.
Jika kasus positif Covid-19 mengalami kenaikan lagi, maka akan ada tekanan kebutuhan perawatan di rumah sakit. Selain itu, ada banyak tenaga kesehatan yang tertular sehingga berisiko fatal
"Jangan sampai yang kita lakukan bagus sekarang, kemudian harus kita ulangi lagi, ada kenaikan kasus konfirmasi 30 sampai 40 persen lagi, ada tekanan rumah sakit lagi, ada banyak tenaga kesehatan kita yamg terkena dan berisiko fatal lagi dengan cara membatasi pergerakan pada liburan nanti," kata BGS.