REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Kecanduan gawai yang dialami anak dan remaja memang bukan masalah baru di Indonesia. Namun fenomena tersebut tetap harus menjadi perhatian terutama di masa pandemi Covid-19. Apalagi saat ini gawai menjadi alat yang harus dimiliki anak untuk mengikuti pembelajaran daring.
Konsultan Anak dan Remaja dari RSJ dr Radjiman Wediodiningrat Lawang, Malang, Tiwik Koesdiningsih mengaku, menerima keluhan dari beberapa orang tua selama pandemi Covid-19. Anak-anak mereka mulai malas sekolah karena terlalu sering bermain gawai pintar. "Tidak mau mengerjakan tugas-tugas sekolah, tapi kesehariannya bermain gadget, baik itu medsos (media sosial), video gim, gim online, jadi variatif yang mereka bermain itu," kata Tiwik kepada Republika.co.id, Selasa (23/2).
Selama pandemi Covid-19, Tiwik setidaknya menerima 10 anak yang melakukan rawat jalan. Kemudian tujuh orang menjalani rawat inap dengan sumber masalah yang serupa. Rata-rata usia mereka sekitar 11 sampai 17 tahun.
Para pasien pada umumnya menunjukkan gejala yang terlalu asyik bermain gawai, mereka kadang menjadi sosok mudah marah, tersinggung dan acap menentang jika diperintahkan sesuatu oleh orang tua. Anak-anak juga menjadi malas beraktivitas lain selain bermain gawai.
Beberapa pasien ada yang malas merawat diri seperti mandi dan makan. Ada pula yang sulit tidur, bahkan baru bisa beristirahat pada waktu subuh. Sekitar dua sampai tiga jam istirahat, mereka bangun lalu langsung mencari gawai kembali.
Anak yang kecanduan gawai baru bisa tidur saat benar-benar merasa lelah. Atau, bisa juga ketika baterai dan pulsanya sudah habis. Bahkan tak jarang, mereka berusaha mencari layanan internet gratis untuk melanjutkan aktivitas gawainya kembali.
"Ada juga anak yang sampai berani bertindak kekerasan, membohongi orang tuanya. Sampai berani melakukan perilaku kejahatan negatif, misalkan mencuri uang ibunya dan sebagainya. Tujuannya demi membuat dirinya senang. Untuk dapatkan reward pulsa, beli pulsa," ucap dia.