REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Negara anggota G7 mengecam aksi kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap massa demonstran di Myanmar. Mereka mendesak para pelaku dimintai pertanggungjawaban.
“Kami mengecam intimidasi dan penindasan terhadap mereka yang menentang kudeta. Kami tetap bersatu dalam mengutuk kudeta di Myanmar," kata para menteri luar negeri negara anggota G7 dalam sebuah pernyataan bersama pada Selasa (23/2).
Mereka menyerukan otoritas Myanmar membebaskan segera para tokoh yang telah ditahan secara sewenang-wenang. "Termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint," kata mereka.
Gelombang demonstrasi menentang kudeta militer di Myanmar masih berlangsung. Situasi memanas karena terdapat tiga warga sipil yang tewas akibat tindakan represif aparat. Sejumlah negara telah mendesak junta militer menghormati aksi unjuk rasa yang digelar secara damai.
Pada 1 Januari lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).
Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November tahun lalu. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.
Militer Myanmar telah mengumumkan keadaan darurat yang bakal berlangsung selama satu tahun. Sepanjang periode itu, militer akan mengontrol jalannya pemerintahan. Militer Myanmar telah berjanji akan mengadakan pemilu baru. Gagasan tersebut telah ditolak para demonstran.