REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji, mendesak pencabutan 'pasal karet' di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Apalagi pasal-pasal tersebut multi tafsir dan penerapannya yang kerap diskriminatif.
Suparji mengaku setuju dan mengapresiasi langkah pemerintah dengan membentuk Tim Kajian UU ITE. Pemerintah diketahui secara resmi telah membentuk Tim Kajian UU ITE. Tujuan dibentuknya tim tersebut adalah untuk mencari tahu apakah ada dugaan pasal karet dalam UU ITE.
"Setuju dicabut, karena multi tafsir, abu-abu dan dapat diskriminatif penerapannya. Kriteria tercemar tidak terukur, tidak secara eksplisit dikualifikasikan sebagai delik formil atau materiil," kata Suparji dalam keterangan tertulis, Selasa (23/2).
"Pada dasarnya tidak hanya pencemaran nama baik yang dalam UU ITE, tetapi ketentuan yang diatur dalam UU ITE hendaknya hanya berkaitan dengan transaksi elektronik," sambungnya.
Mantan wakil ketua Panitia Khusus (Pansus) DPR pembahasan RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) M Yasin Kara juga menyatakan setuju Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik sebaiknya dihapus dari UU ITE. Alasannya karena masih adanya pihak yang menggunakan pasal tersebut untuk membungkam pendapat seseorang.
Menurut Yasin, Pansus RUU ITE dan pemerintah menyepakati masuknya pasal namun dengan penegasan bahwa UU ITE bukanlah undang-undang organik terkait pencemaran nama baik, pornografi, dan SARA, tetapi memberikan payung hukum terhadap transaksi elektronik. Sebab, penipuan terkait transaksi elektronik saat itu belum memiliki regulasi yang memadai, di tengah perkembangannya yang semakin pesat.
"Sehingga penerapan UU ITE atas kasus-kasus tersebut adalah setelah pokok perkara terbukti, di mana landasannya adalah UU Pidana dan UU yang spesifik mengatur tentang pencemaran nama baik, pornografi, dan Sara," ujar Yasin.