Selasa 23 Feb 2021 22:24 WIB

Wayang dan Islamisasi Wali Songo Menurut Peneliti Barat

Peneliti menilai peran vital Walisongo menjadikan wayang media dakwah

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Peneliti menilai peran vital Walisongo menjadikan wayang media dakwah. Pertunjukan wayang kulit (ilustrasi)
Foto: Antara/Septianda Perdana
Peneliti menilai peran vital Walisongo menjadikan wayang media dakwah. Pertunjukan wayang kulit (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Agama dan kebudayaan adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dalam perjalanan hidup manusia di dunia.

Dalam buku berjudul “Islam Berkebudayaan: Akar Kearifan Tradisi, Ketatanegaraan, dan Kebangsaan”   yang ditulis budayawan Nahdlatul Ulama (NU), M Jadul Maula, dijelaskan bahwa medium peralihan damai dan kesinambungan yang selaras itu ditandai dengan digunakannya seni pertunjukan wayang. Memang, menurut dia, pertunjukan wayang sebagai ritual pemujaan leluhur sudah dikenal orang-orang Jawa sejak zaman prasejarah.

Baca Juga

Namun, para wali kemudian melakukan pembaruan format pertunjukan wayang secara dinamis, estetis, dan fungsional sebagai medium pendidikan masyarakat.

Dalam buku Javaanse volksvertoningen bijdrage tot de beschijving van landen volk, Th G Pigeaud juga menegaskan bahwa dugaan pertunjukan boneka wayang sebagai permainan yang terpisah sudah ada sejak dulu dan kemudian diisi dengan mistik Islam adalah tidak benar.

Karena, lanjut dia, semua orang tahu bahwa berita-berita mengenai wali-wali penyebar Islam, mereka itulah yang memberi peranan penting pada tujuan pertunjukan wayang dalam bentuknya yang sekarang. Dengan demikian, pertunjukan wayang purwa adalah benar-benar hasil kreasi para walisongo, terutama Sunan Kalijaga.

Menurut Kiai Jadul, pada wali di dalam Dewan Walisongo banyak bermusyawarah untuk mengembangkan rumusan-rumusan ajaran dasar Islam secara tepat untuk diselaraskan dengan berbagai berbagai kecenderungan keagamaan dan budaya di tengah-tengah masyarakat.

Kemudian, para Walisongo memasukkan nilai-nilai baru yang dibutuhkan masyarakat, seperti sabar, lilo, ngalah, ikhlas, musyawarah, mufakat, adil, dan sebagainya. Pada saat bersamaan, beberapa ajaran Islam juga dipribumisasikan ke dalam istilah yang sudah dikenal di masyarakat, seperti kalimat syahadat dikenalkan sebagai kalimasodo, sholat disebut dengan sembahyang, shaum disebut dengan puasa (upawasa), dan sebagainya.

Dari sini, terlihat bagaimana penfasiran Kiai Jadul dalam memahami wayang yang telah dikembangkan walisongo. Selain itu, dalam buku ini Kiai Jadul juga membahas tentang tradisi pesantren yang ternyata juga erat kaitannya dengan wayang.

Menurut Kiai Kiai Jadul, sejak adanya tradisi pesantren di Nusantara, wayang mulai menjadi bagian dari kehidupan santri. Di dalam Serat Walisongo disebutkan para wali bermusyawarah di Pesantren Giri untuk merumuskan berbagai hal terkait dakwah Islam sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu yang dibahas ketika itu adalah bagaimana menggunakan wayang sebagai pemersatu masayarakat dari ebrbagai latar belakang sosial dan keyakinan. Pada masa Walisongo inilah fungsi wayang dikembangkan, dari semata ritual menjadi media edukasi masyarakat untuk menemukan jati diri kemanusiaannya.     

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement