Selasa 23 Feb 2021 22:46 WIB

AS dan Iran Hadapi Jalur Terjal Menuju Resolusi Nuklir

Niat Presiden AS ke perjanjian nuklir ditanggapi dingin ultrakonservartif Iran.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Ohde/ Bildagentur-online/picture-alliance
Ohde/ Bildagentur-online/picture-alliance

Selasa (23/2) harian pelat merah, Daily Iran, menerbitkan editorial yang mengritik sikap fraksi konservatif di parlemen soal Perjanjian Nuklir 2015 yang ingin dihidupkan kembali. Tindakan "radikal” hanya akan mengarah pada isolasi, tulis harian tersebut.

Pada hari yang sama, Utusan Khusus Iran untuk Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Kazem Gharibabadi, mengatakan pemerintahannya telah membekukan protokol tambahan yang menjamin inspeksi dadakan oleh IAEA, terhitung sejak dini hari.

Iran memasuki fase krusial dalam upaya diplomasi demi menghidupkan kembali Perjanjian Nuklir yang dibuat dengan Dewan Keamanan PBB. Senin (22/2), IAEA mengumumkan berhasil menegosiasikan klausul darurat yang memungkinkan inspeksi nuklir dalam situasi khusus.

Keputusan itu dikecam oleh kaum ultrakonservatif di parlemen. Mereka mengatakan kesepakatan itu melanggar UU Nuklir yang disahkan Desember silam. Undang-undang tersebut melarang inspeksi IAEA selama AS belum mencabut sanksi.

Dalam editorialnya, Daily Iran mewanti-wanti terhadap langkah agresif yang bisa berdampak negatif pada upaya diplomasi untuk keluar dari jerat sanksi.

"Mereka yang mendesak Iran mengambil sikap tegas dalam perjanjian nuklir harus menjawab, siapa yang akan menjamin bahwa Iran tidak lagi ditinggal sendirian seperti di masa lalu... Akankah sikap ini hanya akan membantu membentuk konsensus negatif terhadap Iran?”

Peringatan Khamenei

Kesepakatan sementara antara IAEA dan Iran membuka ruang bagi perundingan diplomasi. Kedua pihak bersitegang perihal siapa yang harus membuat langkah pertama.

Sejak mengambilalih kekuasaan Januari silam, Biden membatalkan sejumlah kebijakan pendahulunya: antara lain menyetujui perundingan multilateral untuk menghidupkan perjanjian nuklir dan mencabut larangan masuk terhadap diplomat Iran.

Iran sebaliknya bersikeras hanya akan kembali patuh pada Perjanjian Nuklir jika AS terlebih dahulu mencabut sanksi dan embargo ekonomi.

Senin (22/2), Pemimpin Spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengatakan pihaknya "akan memproduksi uranium dengan tingkat kemurnian 60%, jika dibutuhkan." Dia membantah Iran ingin menggunakan teknologi tersebut untuk mengembangkan senjata nuklir

Peringatan Khamenei "terdengar seperti sebuah ancaman,” kata seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri AS kepada Reuters. Meski begitu dia menegaskan komitmen Presiden Biden kembali menghidupkan Perjanjian Nuklir 2015.

Iran dikabarkan sudah memperkaya uraniumnya ke tingkat 20 persen pada 2021. Pemerintah di Teheran berdalih pihaknya berhak menjalankan kembali program pemerkayaan uranium, sesuai isi perjanjian.

Klausul yang dimaksud menggugurkan komitmen pembatasan nuklir Iran jika salah satu pihak melanggar perjanjian.

Bayang-bayang Trump pada pemerintahan Biden

Biden berjanji akan memunggungi kebijakan pendahulunya ketika dilantik, terutama dalam isu Iran.

Tiga tokoh kunci di pemerintahan Biden, Menlu Antony Blinken, penasehat keamanan nasional, Jake Sullivan, dan utusan khusus untuk Iran, Rob Malley, ikut terlibat meracik Perjanjian Nuklir 2015 di bawah Presiden Barack Obama.

Meski demikian pemerintahan Biden diyakini ikut mengadopsi kebijakan Donald Trump, ketika Menlu Blinken mengindikasikan pentingnya dibentuk "perjanjian yang lebih kuat dan berjangka waktu panjang,” untuk menanggulangi "masalah pelik lain.”

Masalah yang dimaksud adalah bagian dari tuntutan inti Presiden Donald Trump agar Iran berhenti membiayai kelompok bersenjata di Timur Tengah dan membatasi program pengembangan peluru kendali jarak jauh.

Tapi jika Trump menggunakan sanksi untuk menekan Iran agar mau merundingkan ulang perjanjian nuklir, buat pemerintahan baru AS, "diplomasi adalah jalan terbaik untuk mencegah Iran memiliki senjata nuklir,” kata juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki, seperti dilansir AFP.

Hal senada diungkapkan Ned Price, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS. "Kami bersedia bertemu dengan Iran untuk menjawab pertanyaan yang sulit dan rumit ini.”

Namun untuk sementara ini, kedua negara hanya akan membahas pembebasan warga negara AS yang saat ini ditahan di Iran atas dakwaan spionase. Pegiat HAM menduga korban adalah sandera politik dalam tarik ulur nuklir.

Minggu (21/2), penasehat keamanan nasional AS, Jake Sullivan, mengatakan negosiasi pembebasan para tahanan mendapat "prioritas tinggi.”

rzn/hp (afp, ap, rtr)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement