REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Aparat Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat berhasil menangkap dua pria yang diduga sebagai anggota sindikat perdagangan manusia lintas negara. Dirreskrimum Polda NTB Kombes Pol Hari Brata di Mataram, Rabu, mengungkapkan keduanya ditangkap di bawah komando tim subdit IV bidang remaja, anak dan wanita (renakta) pada Senin (21/2) sore.
"Mereka ditangkap berdasarkan hasil penyelidikan anggota di lapangan," kata Hari Brata didampingi Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol Artanto. Dua pria yang ditangkap ini berinisial AB (41), warga Suralaga, Kabupaten Lombok Timur, yang berperan sebagai perekrut di NTB dan penampung di Jakarta berinisial HS (44), warga Ciracas, Jakarta Timur.
"Selain menampung, HR ini juga yang memberangkatkan korban," ujarnya. Lebih lanjut, Hari Brata mengatakan bahwa sindikat perdagangan manusia lintas negara ini punya modal besar.
Mereka membiayai perekrutan sampai pengiriman korban. Jaminan keuntungan berlipat ganda membuat bisnis haram ini tetap jalan."Setiap satu orang yang berhasil direkrut, mereka ini dapat upah sampai Rp 120 juta," ucap dia.
Salah seorang perempuan korban perdagangan manusia dari sindikat ini berinisial HR (29), warga Suralaga, Kabupaten Lombok Timur. Korban awalnya dijanjikan untuk bekerja di Abu Dhabi sebagai asisten rumah tangga dengan gaji Rp 4 juta per bulannya. Selain gaji tinggi dan pemberangkatan tanpa biaya, korban juga dijanjikan uang saku Rp2,5 juta.
Kelengkapan administrasi untuk keberangkatannya juga dibuatkan oleh pelaku. Mulai dari pengurusan biaya pemeriksaan kesehatan hingga pembuatan paspor di Kota Mataram.
"Tapi faktanya, korban malah diselundupkan ke Turki. Modusnya, korban dimasukkan ke negara lain untuk bekerja tetapi menggunakan visa wisata. Pengirimannya secara perorangan," ucap dia.
Sesampainya di Turki, korban kembali ditampung bersama pekerja migran gelap lainnya dalam sebuah ruangan kecil. Makan dan minum hanya sekali sehari. Paspornya juga ditahan agensi. Ketika diserahkan kepada majikannya, korban kerap mendapat perlakuan tidak manusiawi. Bahkan gaji yang dijanjikan Rp 4 juta hanya diberikan setengahnya.
"Jadi tidak sampai dua tahun, korban memutuskan kabur dan meminta perlindungan ke KBRI di Ankara pada Desember 2020. Dari situ penyelidikan kami dimulai," katanya.