Rabu 24 Feb 2021 18:00 WIB

Pansus DPRD Sumbar Heran Pengadaan APD Dilakukan Cash

Transaksi BPBD Sumbar dengan perusahaan pengadaan APD tidak didampingi BPK.

Rep: Febrian Fachri/ Red: Agus Yulianto
Wakil Ketua Pansus Covid-19 DPRD Sumbar, Nofrizon
Foto: Republika/Febrian Fachri
Wakil Ketua Pansus Covid-19 DPRD Sumbar, Nofrizon

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) Kepatuhan Penanganan Pandemi Covid-19 DPRD Sumatra Barat Nofrizon mengaku, heran transkasi pengadaan alat pelindung diri (APD) yang dilakukan BPBD Sumbar dilakukan dengan transaksi uang tunai atau cash. Selain itu menurut Nofrizon, transaksi yang dilakukan BPBD Sumbar dengan perusahaan pengadaan APD itu tidak didampingi oleh BPK, Kejaksaan, KPK, Bareskrim dan Inspektorat.

"Ini diawasi inspektorat saja tidak ada. Uang miliaran rupiah dibayarkan pakai sistem cash. Kayak beli cabe," kata Nofrizon di Padang, Rabu (24/2).

Politikus Partai Demokrat Sumbar itu menyebut, Pansus masih terus bergerak melelusuri terkait indikasi penyimpangan anggaran penanganan covid di Sumbar ini. Mereka akan memanggil pejabat dari Pemprov Sumbar seperti BPBD, dan perusahaan pengada APD yang terlibat. 

Mereka ingin meminta klarifikasi kebenaran dugaan mark up harga APD seperti handsanitizer. Sebab dari di Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK, ada kecurigaan pengadaan barang dengan harga yang tidak masuk akal dan melibatkan perusahaan yang belum teruji. Seperti pengadaan handsanitizer yang dibeli melalui perusahaan batik.

"Nanti akan kita tanyakan kok bisa perusahaan batik jadi pengada handsanitizer. Kita minta Cv perusahannya. Apakah sudah ada tenaga teknis untuk pembuatan handsanitizer di perusahaan itu. begitu juga dengan hazmat yang dibeli sudah sesuai standar BNPB produknya," ujar Nofrizon.

Nofrizon menjelaskan, sejauh ini dari temuan LHP BPK terkait kepatuhan penanganan pandemi covid-19, anggaran untuk BPBD Sumbar dalam penanganan covid sebesar Rp 160 miliar. Uang yang terpakai berdasarkan laporan BPBD sebanyak Rp 150 miliar. Sementara sisanya Rp 10 miliar sudah dikembalikan ke pemerintah pusat.

Kemudian BPK melakukan audit terhadap Rp 150 miliar tersebut. Dari situ, ada Rp 49 miliar yang dicurigai ada tidak sesuai aturan dan Rp Rp 4,9 miliar uang yang harus dikembalikan karena ada indikasi mark up.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement