REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveller dan Penulis Buku.
“Sekularisme hanya cocok dengan konsep Tuhan ala Barat yang berpendapat bahwa Tuhan menciptakan dunia dan membiarkan manusia mengaturnya sendiri.”
Saya tertegun sejenak sebelum akhirnya tersenyum membaca pendapat yang dikemukakan Syekh Dr. Yusuf al-Qaradawi itu. Yang membuat saya tersenyum adalah kalimat, “Tuhan menciptakan dunia dan membiarkan manusia mengaturnya sendiri.” Alangkah konyolnya pemikiran itu.
Lebih lanjut Syekh Dr. Yusuf al-Qaradawi menjelaskan, “Sekularisme tidak pernah bisa diterima dalam Islam. Islam adalah sebuah sistem ibadah komprehensif dan legislasi (syariah). Menerima sekularisme berarti menampik aturan Ilahi dan penolakan terhadap perintah-perintah Allah.”
Sekularisme begitu dipuja di Barat dan belakangan laku di kalangan generasi muda Muslim di negeri ini. Hal itu tentu menggelisahkan.
Anak-anak muda Muslim yang rela saja melihat agamanya diolok-olok. Bahkan paling semangat ikut menyerang saat Islam didiskreditkan.
“Virus” ini dengan mudah mendapat tempat di kalangan anak muda, karena terdengar sangat humanis dengan menjadikan manusia sebagai sentral ideologinya.
Lalu, bagaimana menghentikan lajunya? Pemikiran hanya bisa dilawan dengan pemikiran. Ketidaktahuan generasi muda Muslim akan kebesaran agamanya menjadikan paham ini seakan menyilaukan mata.
Seandainya mereka mengerti bagaimana indahnya Islam, bagaimana sempurnanya agama ini, niscaya mereka akan cinta mati. Tak ada ruang untuk memikirkan hal selain itu lagi.
Adalah sunatullah di usia muda muncul kegelisahan-kegelisahan. Namun harusnya kegelisahan itu di tempatkan pada medium yang tepat.
Seperti yang dicontohkan generasi Al Fatih yang mengarahkan energi kegelisahannya untuk satu tujuan: membebaskan benteng Konstantinopel. Begitupun Sang Pahlawan Shalahuddin Al Ayyubi dan orang-orang besar yang namanya dicatat sejarah.
Isinya macam-macam terkait tulisan itu. Di antaranya anak-anak muda yang curhat segala rupa. Ini tentu menyedihkan. Seakan pusat segala kehidupan adalah urusan asmara semata.
Padahal mereka harusnya punya kegelisahan yang lebih besar pada Baitul Maqdis yang masih ternista. Pada saudara-saudara Muslim di berbagai sudut dunia yang masih teraniaya.
Atau setidaknya kegelisahan itu bila terkelola baik akan menjadi energi dasyat yang akan membentengi penetrasi pemikiran sekuler. Dan tak akan ada yang mengirimkan pesan, “Memikirkan seorang akhwat serasa memikirkan seluruh umat, Mbak.”
Waduh! Anak-anak muda seperti ini yang membuat umat terus dibully.
Jakarta, 24/2/2021