REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Utara dilaporkan telah memperbudak tahanan politik, termasuk di dalamnya anak-anak, dalam proses produksi di tambang batu bara. Hal tersebut dilaporkan oleh aliansi warga negara untuk Hak Asasi Manusia Korea Utara (NKHR) yang berbasis di Seoul, Korea Selatan.
Mereka merilis sebuah penelitian yang menganalisis hubungan antara eksploitasi warga Korea Utara dengan produksi barang untuk ekspor dan program senjatanya. Laporan tersebut menyebut, Pyongyang memaksa mereka yang ditahan di kamp-kamp penjara untuk menghasilkan kuota batu bara dan barang-barang lain untuk diekspor.
Hal tersebut berkontribusi pada jaringan perdagangan batu bara Korea Utara. Apalagi setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melarang ekspor komoditasnya untuk menghentikan pendanaan program rudal nuklir dan balistik Pyongyang.
Korut pun dinyatakan melanggar dan mendapat sanksi PBB hampir 200 juta dollar AS pada 2017. Dari ekspor komoditas yang dilarang, menurut laporan rahasia oleh pemantau independen PBB yang dirilis pada awal 2018.
Dalam laporan NHKR, mengutip wawancara dengan mantan tahanan yang melarikan diri ke Korsel dan pembelot lainnya. Adanya informasi tentang transaksi tersebut, bersama dengan sumber lain seperti gambar satelit, dan data dari pemerintah Korea Selatan dan AS.
PBB memperkirakan, ada sekira 200.000 orang ditahan di jaringan yang dijalankan oleh polisi rahasia mirip Stasi. Banyak di antaranya terletak di dekat lokasi pertambangan.
Laporan Komisi Penyelidikan PBB tahun 2014 mengatakan, para tahanan mendapatkan penyiksaan, pemerkosaan, kerja paksa, kelaparan, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya.
Desember 2020 lalu, Amerika Serikat memberlakukan sanksi baru. Mereka memasukkan enam perusahaan ke dalam daftar hitam, termasuk di antaranya berbasis di China, dan empat kapal yang dituduh melakukan ekspor ilegal batu bara Korea Utara.
"Kuota produk untuk ekspor dipenuhi lewat perbudakan laki-laki, perempuan, dan anak-anak di kamp penahanan yang dimiliki dan dioperasikan oleh polisi rahasia," tulis laporan NKHR.