REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah
Terdakwa kasus perkara dugaan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra hari ini menjalani sidang pemeriksaan sebagai terdakwa di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Ia mengungkapkan adanya kelakar Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang meminta 100 juta dolar AS kepada dirinya.
Awalnya, Djoko Tjandra menceritakan pertemuannya dengan Pinangki di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 25 November 2019. Dalam pertemuan itu, Pinangki sempat menyingung biaya pembuatan kantor Djoko Tjandra yang sangat besar.
"Kami lagi minum kopi, ada cetus dari Pinangki 'wah Pak Djoko bangun gedung ini berapa miliar'. Saya bilang 'habis 5,5 miliar dolar AS'. Kata dia 'wah ini gedung kebanggan Indonesia dibangun oleh orang Indonesia, saya bilang Aamin," ungkap Djoko Tjandra.
Setelah itu, lanjut Djoko Tjandra, Pinangki juga menyinggung pembayaran action plan sebesar 100 juta dolar AS. Alasannya, nominal itu bukan jumlah yang besar bagi Djoko Tjandra.
Namun, Djoko mengaku tak menanggapi pernyataan Pinangki tersebut. Sebab, dia mengganggap jika pernyataan itu hanya candaan.
"Dia bilang 'wah untuk Pak Djoko kalau pulang, buang 100 juta dolar AS tidak apa kan'. Jadi tidak spesifik, saya tidak tanggapi. Itu bisa jadi ditangkap ada permintaan 100 juta dolar AS. Jadi tidak spesifik mereka minta 100 juta dolar AS. Hanya bilang kalau saya pulang, uang 100 juta dolar AS tidak ada masalah," ungkapnya.
Dalam sidang, Djoko pun mengkungkapkan alasannya menolak action plan yang berisi 10 poin yang diterimanya dari Andi Irfan Jaya. Menurut Djoko Tjandra, action plan tersebut adalah proposal penipuan.
"Itu proposal penipuan. Saya tidak mau lagi ketemu sama orang- orang itu dan saya minta jangan lagi ketemu saya. Saya block. saya block setelah saya terima action plan, " ujar Djoko Tjandra.
"Saya anggap itu proposal itu adalah modus dalam tanda kutip, ini adalah penipuan, pemerasan," tambah Djoko Tjandra.
Penuntut umum pun menanyakan kepada Djoko Tjandra mendapatkan action plan tersebut. Ia mengaku mendapatkan melalui pesan elektronik.
"Soal action plan, saudara mendapat tanggal 29 Oktober 2019, darimana dan bagaimana caranya mendapat action plan?" tanya Jaksa Zulkipli.
"Dikirim melalui WhatsApp oleh Andi Irfan Jaya," jawab Djoko Tjandra.
Setelah menerima 10 butir action plan tersebut, Djoko Tjandra mengaku ragu dengan rencana yang disusun Andi, advokat Anita Kolopaking dan Pinangki tersebut.
"Setelah saya terima action plan itu, saya baca dari 10 butir action plan, tidak ada satu dari action plan itu yang bisa saya mengerti, maksudnya, satu, misalkan, meminta kepada saya memberikan security deposit dengan memberikan hak-hak absolut, substitusi, untuk menggadaikan aset saya, memberikan wewenang kepada mereka menentukan harga dan menjual dengan waktu kapan saja," ujar Djoko Tjandra.
"Security deposit yang dimintakan kepada saya itu, itu selama hidup saya selama ini sebagai pengusaha lebih dari 55 tahun, tidak pernah saya baca surat kuasa seperti itu," tambahnya.
Djoko Tjandra juga meragukan rencana kerja di poin kedua terkait rencana Kejaksaan Agung (Kejagung) bersurat ke Mahkamah Agung (MA). "Saya menganggap itu sesuatu yang tidak lazim, dan tidak mungkin bisa terjadi," kata dia.
"Apa mungkin surat kepada Kejaksaan Agung atau Mahkamah Agung bisa terjadi dalam waktu satu hari. Saya menyatakan tidak ingin uang 10 juta itu terkait dengan masalah sama pejabat di dalam action plan. karena saya sangat menghormati ketua MA saat itu, " tutur Djoko Tjandra.
"Saya tidak ingin uang saya atau keinginan saya dipakai sebagai suap kepada pejabat besar. oleh sebab itu saya katakan ke Andi, sudah jangan buang waktu, kita berakhirkan saja action plan ini," tambahnya.
Hakim Muhammad Damis pun menanyakan kepada Djoko Tjandra apakah ada rincian biaya yang diusulkan untuk pelaksanaan rencana penerbitan fatwa. Djoko mengaku tidak ada ada rincian biaya tersebut.
"Tidak ada sama sekali, yang ada di samping 1 juta dolar AS berupa legal fee, kedua media fee 500 ribu dolar AS, lalu 10 juta dolar itu permintaannya untuk success fee terhadap fatwa," ungkap Djoko Tjandra.
"Di antara 10 juta dolar AS itu ada yang disebutkan untuk pejabat tinggi?" cecar Hakim.
"Tidak pernah disebutkan," jawab Djoko Tjandra.
Dalam persidangan, Djoko Tjandra juga mengungkap bahwa, dirinya sempat diajak Rahmat untuk bertemu dengan Wakil Presiden Ma'ruf Amin di Kuala Lumpur, Malaysia. Awalnya, Jaksa menanyakan bagaimana Djoko Tjandra bisa mengenal Rahmat.
Kepada Jaksa, Djoko Tjandra mengaku kenal pada pertengahan Mei 2018 di Kuala Lumpur.
"Saat itu ada tim ICMI zamannya ayah angkatnya pak Rahmat itu mereka semua merasa dekat sama pak Anwar Ibrahim. Di situ saya bertemu, karena waktu itu teman-teman di ICMI saya semua kenal. Disitu saya ketemu namanya Rahmat juga di situ, " ungkap Djoko Tjandra.
"Apakah saudara menceritakan ke Rahmat terkait permasalahan hukum?" tanya Jaksa Zulkipli.
Djoko Tjandra menjawab tak pernah menceritakan permasalahan hukumnya kepada siapapun, termasuk Rahmat. Sebab, dia beranggapan jika Rahmat sudah mengetahuinya.
"Saya tidak pernah menyampaikan tapi mereka tahu," ujarnya.
Djoko Tjandra lalu menyinggung tawaran Rahmat untuk bertemu dengan Ma'ruf Amin. Menurut Djoko Tjandra, ajakan itu, disampaikan Rahmat melalui sambungan telepon.
"Dia (Rahmat) telepon saya, (bilang) 'pak Djoko kita mau ke Malaysia karena ada kunjungan kerja'. Beliau bilang pak Kyai, panggilannya Abah mau ke Kuala Lumpur, yaitu yang sekarang jadi Wapres kita, mau ke KL," ungkapnya.
Namun, pertemuan itu batal. Sebab, Djoko Tjandra mendengar jika kunjungan kerja Ma'ruf Amin dibatalkan. Alasanya, kondisi fisik Ma'ruf Amin saat itu tidak baik.
"Saya bilang oh dengan senang hati, (untuk) waktu tidak ditentukan kapan, itu saya dengar lagi badannya kurang enak badan jadi enggak jadi datang," ujarnya
Saat dihadirkan menjadi saksi beberapa waktu lalu, Rahmat tak mengaku memiliki kedekatan dengan Ma'ruf Amin.
"Saya dulu dekat dengan Pak Ma'ruf Amin, saya selalu pergi beruda sama dia," kata Rahmat dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (9/2) lalu.
Menurut Rahmat, kedekatannya sudah terjalin sebelum Ma'ruf Amin menjabat sebagai Wakil Presiden. Ketika itu Ma'ruf Amin masih menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"(Kedekatan) tiga tahun terakhir," kata Rahmat.