REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra mengaku meminta untuk dibuatkan rencana aksi (action plan) terkait permasalahan hukumnya dan bersedia untuk membayar 1 juta dolar AS atas proposal tersebut. Namun, pada akhirnya, Djoko menolak action plan yang ditawarkan kepadanya.
"Sebelumnya saya meminta bahwa kalau saya sudah setuju biaya consultant fee 1 juta dolar AS, saya ingin kerangka komplet," kata Djoko Tjandra dalam sidang pemeriksaan terdakwa di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (25/2).
Djoko Tjandra menyampaikan permintaan tersebut ke jaksa Pinangki Sirna Malasari, advokat Anita Kolopaking dan rekan Pinangki bernama Andi Irfan Jaya.
"Secara lisan Andi dan Anita mengatakan minta 1 juta dolar AS kemudian baru pada 25 November 2019 saat malam malam ada permintaan 'Pak Djoko kita bersedia beri action plan dengan rencana kerja konkrit', itu yang mengatakan Pinangki," ungkap Djoko.
Djoko Tjandra lalu menyepakati akan membayar 50 persen fee yaitu 500 ribu dolar AS. "Saya perintahkan adik ipar saya, Herriyadi, untuk berikan 500 ribu dolar AS ke Andi Irfan tapi setelah itu saya tidak tahu lagi apakah Herryadi memberikan atau tidak dan Andi Irfan juga tidak pernah kontak saya," tambah Djoko.
Namun, pada 29 November 2019 saat Djoko Tjandra membaca action plan tersebut ditambah untuk menandatangani akta security deposit. Yaitu, surat surat kuasa menjual aset dari Djoko Tjandra kepada Andi Irfan Jaya bila Djoko Tjandra tidak memenuhi janji.
"Itu saya anggap sebagai suatu perjanjian selama hidup saya selalu pengusaha 55 tahun tidak pernah ada. Kedua, saya sudah mengajukan upaya hukum ke MK, MA tidak pernah terjadi dalam 24 jam atau tidak pernah MA membalas surat Kejaksaan untuk fatwa MA, saya merasa itu tidak lazim." ungkap Djoko.
Persoalan ketiga, menurut Djoko Tjandra adalah saat ia ditagih consultant fee. Padahal, ia belum menerima jasa konsultasi.
"Menurut saya tidak masuk akal sehingga poin 8 mereka minta saya baca 10 juta dolar AS. Saya baca dua kali action plan, dua hari kemudian saya katakan ke Anita 'Saya kira diskusi action plan itu buang waktu saya, action plan tidak bisa dikunyah, tidak ada logika'. Saya katakan saya tidak ingin berhubungan Andi Irfan, Pinangki, maupun Anda, urusan ini setop," jelas Djoko.
Djoko Tjandra pun mengaku tidak ada uang yang diperuntukkan untuk pejabat tinggi baik di Kejaksaan Agung maupun Mahkamah Agung.
"Kan bahaya ada menyebut-nyebut nama pejabat, saya anggap ini suatu modus yang tidak comfortable sehingga saya putuskan tidak dilanjutkan tapi ketika saya memperoleh Whatsap dari Andi Irfan, saya minta ke sekretaris tolong di-print out, jadi tulisan saya 'no' di-printout tapi next day putus," ungkap Djoko.