Jumat 26 Feb 2021 16:11 WIB

Jokowi Kembali Dilaporkan ke Bareskrim Soal Kerumunan di NTT

PP GPI tagih ucapan Kapolri tentang hukum tidak boleh tajam ke bawah tumpul ke atas.

Rep: Ali Mansur/ Red: Erik Purnama Putra
Presiden Joko Widodo (Jokowi) membagikan kaus dengan cara dilempar ke massa yang berkerumun di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (23/2).
Foto: Tangkapan layar
Presiden Joko Widodo (Jokowi) membagikan kaus dengan cara dilempar ke massa yang berkerumun di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (23/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam (PP GPI) melaporkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Bareskrim Polri, Jumat (26/2) siang WIB. Laporan tersebut berkaitan dengan dugaan pelanggaran protokol kesehatan saat melakukan kunjungan kerja di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (23/2).

"Hari ini kami hadir di Bareskrim Polri untuk melaporkan dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan dua pejabat negara. Pertama Presiden RI, kedua Gubernur NTT (Viktor Laiskodat), hari ini kami datang untuk melaporkan hal tersebut," ujar Ketua Bidang HAM PP GPI, Fery Dermawan, di Jakarta, Jumat.

Kemudian untuk barang bukti, Fery mengaku memiliki video yang diunduh dari Youtube dan juga capture berita dari media mainstream. Menurutnya, Penggalan video tersebut menggambarkan pelanggaran prokes, berupa kerumunan massa. Bahkan di kerumunan itu Presiden Jokowi kemudian membagikan suvenir.

Di video, Jokowi membagikan kaus dari mobil atap terbuka dengan melemparkannya ke massa yang bergerombol tanpa jaga jarak. "Kerumunan itu sudah ada dari sebelum presiden sampai ke lokasi jadi terkesan dibiarkan," ungkap Fery.

Selain itu, Fery juga berharap masih ada keadilan. Serta sebagai momentum untuk menagih janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bahwa hukum tidak boleh tajam ke bawah tumpul ke atas, yang disampaikan kala fit and proper test di Komisi III DPR, beberapa waktu lalu. Sehingga di Indonesia ini, semua orang siapa pun itu, sekalipun seorang presiden semuanya sama di mata hukum.

"Kita berharap masih ada keadilan di RI karena kita berpegang pada asas equality before the law, setiap warga negara sama statusnya di hadapan hukum," terang Fery.

Sebelumnya, Bareskrim Polri menolak laporan kasus pelanggaran protokol kesehatan (prokes) yang diduga dilakukan Presiden Jokowi tersebut. Laporan sendiri dibuat oleh Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan yang menuntut persamaan kedudukan di mata hukum.

"Pihak kepolisian yang tidak mau menerbitkan Laporan Polisi (LP) atas laporan kami. Laporan kami Diterima di TAUD (Tata Usaha dan Urusan Dalam) dan diberi stempel dianggap sebagai Dumas, padahal tujuan kami membuat LP," keluh Ketua Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan, Kurnia saat dihubungi, Kamis (25/2).

Kemudian, Kurnia pun mempertanyakan alasan polisi menolak laporan yang dibuatnya. Namun, pihak kepolisian tidak setaju dengan diksi bahwa laporannya ditolak. Padahal kasus kerumunan tersebut menjadi momentum membuktikan statement Presiden Jokowi, Mahfud MD sebagai Menkopolhukam dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit.

"Ketika kami katakan apakah ini artinya LP ditolak, herannya mereka tidak setuju dengan diksi "menolak". Kami mengira ada perubahan sebagaimana janji Kapolri baru berupa equality before the law. hukum yang adil, nyatanya?" kata Kurnia dengan heran.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement