REPUBLIKA.CO.ID, Islamofobia pertama kali diciptakan pada 1901 di Prancis dan menjadi tantangan terbesar abad ke-21. Seorang sejarawan Amerika, Samuel P Huntington menulis sebuah artikel, berisi teori “Clash of Civilizations" yang mendorong kelompok militan Alqaeda mendeklarasikan jihad (Perang) melawan barat, terutama Amerika.
Dalam teorinya, Huntington berpendapat bahwa "Islam secara inheren anti-Barat dan peradaban Islam adalah ancaman bagi peradaban Barat." Peradaban Barat menurut Huntington terdiri dari demokrasi, kebebasan, norma, nilai, dan hak asasi manusia, yang dibedakan dari peradaban Islam yang tidak demokratis, tidak beradab dan tidak peduli dengan hak asasi manusia, norma dan nilai. Teorinya ini dianggap menentukan dasar-dasar Islamofobia, dan efeknya disebarkan ke publik melalui media.
Kedua, perang Amerika Serikat melawan terorisme pada 9/11 membuat kondisi semakin buruk. Pasca 9/11, dunia melihat perubahan radikal, dan Amerika Serikat menyatakan perang melawan organisasi radikal Islam. “Amerika Serikat menyerang Afghanistan dan Irak bersama dengan sekutunya dan memberi kesan kuat bahwa pelakunya adalah Muslim, dan membuat teroris erat dengan citra Islam,” tulis Jawad Liaquat dalam artikellnya di Naya Daur TV, Jumat (26/2).
Akibatnya, masyarakat Barat mulai membangun narasi bahwa Muslim persis seperti yang digambarkan Huntington, yaitu bahwa mereka tidak beradab dan tidak demokratis dan bahwa mereka tidak peduli dengan hak asasi manusia, norma atau nilai. Sebagai akibat langsung dari ini, kebencian, prasangka dan kekerasan terhadap Muslim berkembang pesat dan perang melawan teror dirasionalkan dengan argumen bahwa semua Muslim, dan Islam secara keseluruhan, layak untuk diperangi. Banyak peneliti Amerika mengakui bahwa narasi yang menyebabkan lonjakan sentimen Islamofobia benar-benar dipromosikan setelah 9/11.
Ketiga, evolusi Eropa Barat dan Amerika Utara berkontribusi terhadap Islamofobia. Perkembangan ekonomi menjadikan negara-negara di kawasan ini model kemakmuran dan juara demokrasi. Ini diikuti dengan peningkatan globalisasi, penemuan media komunikasi yang efektif dan media menjadi yang terdepan.
Masyarakat Muslim mulai berpikir bahwa “Barat” memiliki masa depan yang lebih baik, kehidupan ekonomi yang sehat, dan keamanan yang terjamin. Akibatnya, migrasi Muslim menuju "Barat" dimulai. Namun, migrasi memiliki beberapa akibat yang serius.
Untuk pertama kalinya, masyarakat Barat mendapat kesempatan untuk menyaksikan budaya Muslim. Sementara pertukaran budaya ini membuka jalan pemahaman baru, perkembangan budaya Muslim di barat juga menyebabkan banyak segmen di barat dan masyarakat Muslim menyadari bahwa mereka tidak dapat mendamaikan norma budaya mereka yang berbeda. Akibatnya, budaya Muslim diejek dan dianggap sebagai ancaman bagi budaya barat.
“Induk dari semua penyebab adalah peran media barat dalam mempromosikan Islamofobia. Sudah bukan rahasia lagi bahwa media Barat menunjukkan bias terhadap Muslim, dan cenderung secara tidak akurat melaporkan semua "serangan teroris" yang dilakukan secara eksklusif oleh "Muslim". Banyak universitas, peneliti dan cendekiawan internasional telah membuktikan bias ini dan bias ini jelas mendorong Islamofobia,” jelas Liaquat.
Solusi dari persoalan ini, kata dia, mendidik masyarakat Barat tentang multikulturalisme, agar mereka memahami bahwa Muslim memiliki budaya yang berbeda namun tidak berarti anti-barat. Umat Islam juga perlu dididik bahwa masyarakat Barat memiliki budaya yang berbeda, namun dapat dimaklumi dan diterima tanpa perlu kekerasan atau hinaan.
“Selain itu, negara-negara Muslim perlu menderadikalisasi masa mudanya. Mereka harus mendakwahkan nilai-nilai Islam sejati tentang perdamaian, cinta dan harmoni kepada pemuda. Pemberitaan versi Islam yang benar dapat mencegah Islamofobia,” sarannya.
Islamofobia adalah tantangan paling penting tidak hanya bagi negara Muslim tetapi juga bagi negara Barat. Kondisi ini bukan kebetulan, melainkan disengaja dan disengaja oleh oknum-oknum tertentu yang tidak ingin melihat perdamaian di dunia, kata dia.
Sumber: nayadaur.tv