REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Semua yang paham bahasa Indonesia pasti mengerti bahwa kosa kata Arab dalam bahasa Melayu sangat bertaburan. Bahkan sebuah penelitan mengenai bahasa Indonesia menyatakan bahasa Melayu sebagai induk bahasa Indonesia porsi serapan kata Arab-nya sampai 40 persen. Ini terbesar dibandingkan serapan dari bahasa lainnya seperti Persia, Turki, Spanyol, India (Bengali, Gujarat atau Sansekerta) Inggris, dan Belanda dan lainnya.
Uniknya meski begitu besar, akhir-akhir ini kata pejorasi terhadap Arab malah tampak kuat. Ini terlihat sekali pada sebutan buruk yang makin liar di media sosial, seperti sebutan 'Kadal Gurun, 'Onta', 'Jenggot', 'Jubah', 'Serban', Niqab/Cadar' serta lainnya.
Ketika menyebut semua kata itu sangat lazim dikaitkan dengan hal buruk seperti radikal, teroris. Sebutan buruk misalnya 'Pasukan berjubah', Teroris Berjenggot', Lelaki onta (tukang kawin), dan lainnya juga bertebaran. Terakhir ada usaha untuk mengolok-olok kata 'Habib' hanya sebab persaingan politik kekuasaan.
Semua itu berbanding terbalik dengan sebutan kata asing lain seperti 'Santri', 'Sarung' dan baju 'koko' yang malah disebut sebagai sangat Islami. Meski sarung itu nyata-nyata merupakan budaya pakaian orang kawasan 'wilayah belakang Asia' atau terpengaruh dari India. Sebutan sarung sudah dari dahulu lazim dipakai masyarakat Mynmar dengan nama Long Yi, atau baju koko merupakan baju asal Tionghoa.
Aneka tuduhan peyorasi inilah yang kini melanda seakan berbalik pada kondisi zaman penjahan ala Snouck Hurgronje: Islam sebagai paham politik harus dimatikan sedangkan Islam sebagai sekedar paham keagamaan justru harus diperbolehkan bahkan didukung.
Situasi Ala Suck juga terkait kemudian berlanjut pada pertarungan Idiologi tahun 1960-an (Orde Lama) hingga jatuhnya kekuasaan Soekarno. Dan situasi ini juga berlanjut pada awal Orde Baru ditahun 1970-an meski ada jargon yang terlihat sangat sopan dan mentereng: Islam Yes, Partai Islam No. Bahkan Jargon yang dipopulerkan DR Nurcholish Madjid sangat dianut oleh pemerintahan Orde Baru. Aktivis PPP yang juga mantan ketua HMI, Ridwan Saidi, menentangnya dengan keras dikotomi itu. Mendiang menteri luar negeri Moh Roem juga sempat berpolemik dengan Nurcholis Madjid. Perdebatan itu ada dalam buku: Tidak Negara Islam.