REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Jumat (26/2) waktu setempat mengatakan, banyak negara yang mencari dosis vaksin Covid-19 berlebih dari banyak perusahaan farmasi. WHO menilai tindakan tersebut mengancam pasokan pada program Covax global untuk negara-negara miskin dan menengah.
"Sekarang, beberapa negara masih mengejar kesepakatan yang akan membahayakan pasokan Covax. Tanpa ragu," ujar pejabat senior WHO, Bruce Aylward dalam sebuah pernyataan yang dikutip laman Aljazirah, Sabtu (27/2).
WHO telah lama meminta negara-negara kaya untuk tidak menimbun dan memastikan bahwa vaksin dapat terbagi secara adil. WHO adalah salah satu pemimpin Covax Facility, sebuah program yang bertujuan untuk memasok 1,3 miliar dosis vaksin ke negara-negara miskin dan berpenghasilan menengah tahun ini. Namun sejauh ini, peluncuran vaksin melalui Covax berjalan lambat.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, pihaknya tidak bisa mengalahkan Covid tanpa kesetaraan vaksin. Dunia ini lanjutnya, tidak akan pulih cukup cepat tanpa kesetaraan vaksin.
"Kami telah membuat kemajuan besar. Tapi kemajuan itu rapuh. Kami perlu mempercepat pasokan dan distribusi vaksin Covid-19, dan kami tidak dapat melakukannya jika beberapa negara terus mendekati produsen yang memproduksi vaksin yang diandalkan Covax," ujar dia.
"Tindakan ini merusak Covax dan mencabut pekerja kesehatan dan orang-orang yang rentan di seluruh dunia dari vaksin yang menyelamatkan jiwa," ujarnya menambahkan.
Tedros juga meminta negara-negara untuk mengesampingkan aturan kekayaan intelektual, untuk memungkinkan negara lain membuat vaksin lebih cepat. "Jika tidak sekarang kapan?" Dia bertanya.
Gagasan untuk sementara waktu melepaskan hak kekayaan intelektual atas alat untuk melawan Covid-19 akan muncul lagi pekan depan pada pertemuan negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sebelumnya, ini mendapat tentangan dari negara-negara kaya dengan industri farmasi besar.