Sabtu 27 Feb 2021 20:31 WIB

Nama Politisi PDIP tak Ada di Kasus Bansos, Ini Kata KPK

Peneliti ICW menemukan kejanggalan dalam berkas terdakwa Harry Sidabukke

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: A.Syalaby Ichsan
Anggota Komisi II DPR RI M Rakyan Ihsan Yunus duduk di ruang tunggu sebelum menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (25/2/2021). Ihsan dipanggil sebagai saksi untuk tersangka MJS (Matheus Joko Santoso) dalam kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) COVID-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.
Foto: ANTARA/Galih Pradipta
Anggota Komisi II DPR RI M Rakyan Ihsan Yunus duduk di ruang tunggu sebelum menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (25/2/2021). Ihsan dipanggil sebagai saksi untuk tersangka MJS (Matheus Joko Santoso) dalam kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) COVID-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan alasan tidak memasukan nama politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ihsan Yunus dalam perkara suap bantuan sosial (bansos) Covid-19. KPK telah menyerahkan berkas perkara dakwaan pelaku suap Covid-19 ke PN Tipikor Jakarta Pusat.

"Dalam berkas perkara terdakwa Harry Sidabukke dan kawan-kawan ini, Ihsan Yunus saat itu belum dilakukan pemeriksaan oleh tim penyidik," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Jumat (26/2).

Dia menjelaskan, surat dakwaan JPU KPK tentu disusun berdasarkan fakta-fakta rangkaian perbuatan para tersangka. Dia mengatakan, hal tersebut diperoleh dari keterangan pemeriksaan saksi-saksi pada proses penyidikan.

Menurut dia, pemeriksaan saksi saat itu tentu diprioritaskan dan fokus pada kebutuhan penyidikan dalam pembuktian unsur pasal sangkaan para tersangka pemberi suap yang telah ditetapkan dari hasil tangkap tangan.

Dia mengatakan, keterbatasan waktu yang dibutuhkan sesuai ketentuan undang-undang dalam penyelesaian berkas perkara para tersangka selaku pemberi suap juga menjadi faktor tak dimasukkannya nama Ihsan Yunus dalam surat dakwaan.

"Batasan waktu 60 hari tentu juga menjadi pertimbangan tim penyidik dalam mengumpulkan bukti sangkaan terhadap para tersangka tersebut," kata dia.

Indonesia Corruption Watch (ICW) sebelumnya menemukan dua kejanggalan dalam dakwaan terdakwa perkara dugaan suap pengadaan barang dan jasa bantuan sosial sembako di Kementerian Sosial, Harry Van Sidabukke. ICW pun mendesak agar Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera memanggil Pimpinan KPK.

Jika ditemukan unsur kesengajaan, ICW mendesak Dewan Pengawas harus menjatuhkan sanksi terhadap oknum yang melakukan tindakan tersebut. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menuturkan kejanggalan dalam dakwaan tersebut. 

Pertama, dalam dakwaan tidak disebutkan nama Ihsan Yunus, politisi asal PDIP. Padahal pada tanggal 1 Februari lalu, tepatnya dalam forum rekonstruksi, nama yang bersangkutan mencuat karena diduga menerima aliran dana sebesar Rp 6,7 miliar dan dua sepeda Brompton melalui Agustri Yogasmara. 

Kedua, pada halaman lima surat dakwaan, penuntut umum hanya menyebut Agustri Yogasmoro sebagai pemilik kuota paket bansos sembako. Penting untuk diingat, dalam forum rekonstruksi, KPK menyebutkan bahwa Agustri Yogasmoro bertindak sebagai “Operator Ihsan Yunus”. 

"Pertanyaan lanjutannya, mengapa hal ini tidak disebutkan dalam surat dakwaan? Maka dari itu, tidak salah rasanya jika publik menduga ada upaya dari internal KPK – Pimpinan, Deputi, atau Direktur - yang tidak ingin mengembangkan perkara ini, " tutur Kurnia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement