REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Lukman Hakiem, Mantan Anggota DPR, Peminat Sejarah, Mantan Staf M Natsir dan Staf Ahli Wapres Hamzah Haz,
INNA LILLAHI wa inna ilaihi raji'un. Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali.
Berita duka kembali menyergap. Indonesia kehilangan seorang pendekar hukum yang tangguh dan berani menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Mantan Hakim Agung yang kini menjabat anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi, Dr. Artidjo Al-Kostar, Ahad, 28 Februari 2020 meninggal dunia dalam usia menjelang 73 tahun.
Bedakan Pertemanan dan Perkuliahan
DI KALANGAN aktivis mahasiswa Yogyakarta, Artidjo yang akrab dengan sapaan Mas Ar, dikenal sebagai aktivis yang tidak banyak bicara, santun, tetapi teguh pendirian, dan setia pada prosedur yang telah disepakati.
Menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH-UII), Mas Ar pernah menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) UII. Lepas itu, Mas Ar menjadi dosen di almamaternya sambil bergiat di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.
Sebagai dosen yang sekaligus aktivis LBH, Mas Ar dikenal rigid memisahkan urusan perkuliahan dengan urusan LBH.
Suatu ketika LBH akan punya gawe. Mas Ar, meminta seorang aktivis mahasiswa yang juga mahasiswanya untuk membantu mempersiapkan acara. Sang aktivis dengan bersemangat memenuhi permintaan Mas Ar.
Keterangan foto: Presiden Jokowi mendadak hadir ke Jogja melakukan shalat jenazah Artidjo Al Kotsar di Masjid Kampus Pusat UII Jogjakarta. Setelah bertakziah Presiden balik kembali ke Jakarta.
Saking bersemangat, sang aktivis lupa bahwa besok ada ujian mata kuliah Mas Artidjo. Akibatnya, sang aktivis tidak.mampu menjawab soal-soal ujian sebagaimama mestinya. Maka sang aktivis pun tidak lulus.
Ketika sang aktivis "memerotes" ketidaklulusannya, padahal dia sudah membantu persiapan acara LBH, Mas Ar cuma mengatakan: "Anda harus bedakan hubungan pertemanan dan hubungan dosen-mahasiswa."
Asas Tunggal Pancasila
DALAM pidato pada upacara pelantikan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 1982-1987, Presiden Soeharto mengintrodusir perlunya semua kekuatan sosial politik di Indonesia menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Gagasan politik Soeharto itu sesungguhnya kelanjutan belaka dari dua pidatonya pada paruh pertama 1980 mengenai perlunya ABRI pandai-pandai memilih teman dalam berpolitik, karena masih ada kekuatan politik yang meragukan Pancasila, dan masih menggunakan asas ciri.
Dua pidato Soeharto itu kemudian memunculkan keprihatinan 50 warga negara karena Presiden Soeharto menyatakan seolah-olah di dalam masyarakat terjadi polarisasi antara yang ingin mempertahankan Pancasila dengan yang hendak mengganti Pancasila.
Soeharto juga dianggap menyalahtafsirkan Pancasila sehingga dasar negara itu dapat dipergunakan sebagai sarana ancaman terhadap lawan politik. "Padahal Pancasila dimaksudkan oleh para pendiri Republik Indonesia sebagai sarana pemersatu bangsa."
Soeharto bergeming. Lima puluh warga negara yang menyampaikan Pernyataan Keprihatinan terhadap dua pidatonya, dia bunuh hak-hak sipilnya.
Pada pidato di MPR itu, Soeharto menuduh bahwa asas ciri yang masih digunakan oleh partai politik telah menimbulkan ekstremitas di kalangan para pendukungnya.
Sejak pidato Presiden Soeharto pada 1 Oktober 1982 itu, gagasan politik menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi sosial politik, terus menggelinding, dan tidak bisa ditahan. Maka di dalam Ketetapan MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1983, muncul perintah berasas tunggal Pancasila.
Belakangan, keharusan berasas tunggal Pancasila tidak hanya mengenai partai politik dan Golkar, tetapi juga mengenai organisasi kemasyarakatan, bahkan organisasi keagamaan.
Ketika keharusan berasas tunggal Pancasila tidak bisa dielakkan, organisasi keagamaan Katolik dan Kristen menerima keharusan itu seraya mengubah nama organisasinya dari Majelis Waligereja Indonesia (MAWI) menjadi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Dewan Gereja Indonesia (DGI) menjadi Persekutuan Gereja Indonesia (PGI).