Senin 01 Mar 2021 01:57 WIB

Ombudsman Harap Aturan Sekolah Sinkron dengan SKB 3 Menteri

Menurut Ombudsman, beberapa sekolah di Padang tak lagi terapkan aturan wajib jilbab.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Andri Saubani
Sejumlah pelajar mencuci tangannya sebelum masuk ke sekolah dengan pengawasan dari petugas kepolisian dan Satpol-PP di SMPN 1 Kota Padangpanjang, Sumatera Barat. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Iggoy el Fitra
Sejumlah pelajar mencuci tangannya sebelum masuk ke sekolah dengan pengawasan dari petugas kepolisian dan Satpol-PP di SMPN 1 Kota Padangpanjang, Sumatera Barat. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kepala Perwakilan Ombudsman Sumatera Barat (Sumbar) Yefri Heriani mengatakan, Ombusman perwakilan Sumbar telah memberikan tindakan dan masukan menyusul kasus pemaksaan penggunaan kerudung di SMKN 2 Padang. Sejumlah pihak terkait seperti Kepala Sekolah dan Kepala Dinas Pendidikan juga telah diminta melakukan peninjauan ulang terhadap kebijakan dan aturan berbusana di sekolah terkait.

“Kami di Ombusman perwakilan Sumatera Barat pada hari kedua, setelah kabarnya viral, 21 Januari, kami langsung melakukan pemanggilan terhadap kepala sekolah dan pada hari yang sama kami langsung meminta supaya Kepsek dan kepala dinas untuk melakukan review terhadap kebijakan atau aturan sekolah terkait, dan hari ini proses review itu masih berlangsung,” ujar Yefri dalam Konferensi Pers Indonesia Beragam tentang SKB 3 Menteri tentang Seragam Sekolah Sudah Sesuai Dengan Jati Diri Bangsa Indonesia Yang Beragam, yang disiarkan secara virtual di Zoom, Rabu (24/2).

Baca Juga

“Kami juga telah memberikan beberapa masukan sejak awal, sehingga kita berharap aturan yang ada itu betul-betul sinkron dengan apa yang diharapkan di berbagai aturan lainnya, Permendikbud dan SKB 3 Menteri, sehingga tidak terjadi lagi berbagai kasus yang sama ke depannya,” sambung aktivis di bidang advokasi perempuan itu.

Selain itu, Ombudsman Sumbar juga telah meminta agar tidak ada lagi  pemaksaan seluruh siswa untuk hadir di kegiatan-kegiatan keagamaan di luar agamanya. Pengadaan guru agama Kristen dan Katolik di sekolah-sekolah, yang sudah memenuhi jumlah minimum, juga sudah diberlakukan, kata Yefri.

“Kita juga menganjurkan, melalui kepala dinas, agar ijazah, yang biasanya untuk seluruh siswi diharuskan mengenakan jilbab, ke depannya tidak lagi seperti itu. Itu beberapa hal yang kami sampaikan,” ujarnya menambahkan.

Dia mengatakan, sejak Selasa (26/1), tiga hari setelah viralnya kasus pemaksaan seragam, lima siswi Kristen di SMKN 2 Padang sudah tidak lagi mengenakan jilbab. Meskipun pihaknya belum melakukan peninjauan ulang, dia memastikan, beberapa sekolah, baik SD, SMP, maupun SMA di Padang tidak lagi menerapkan aturan wajib jilbab.

Menurut dia, asal-usul penerapan penyeragaman pakaian dengan menggunakan jilbab, berawal dari diberlakukannya larangan berjilbab atau lebih dikenal dengan kebijakan penyeragaman busana sekolah, pada 1982 disosialisasikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Daoed Joesoef, di mana memicu reaksi negatif dari umat Islam. Namun kebijakan itu dihapuskan pada 1991, tepatnya pada 16 Februari, melalui SK 100/C/Kep/D/1991 d imana jilbab tidak lagi dilarang.

Nah saya membaca dokumen Komnas Perempuan di 2009, ada 21 kebijakan daerah yang mewajibkan perempuan untuk berjilbab. Salah satunya Sumatra barat, yang keluar di 2005, itu ada di peraturan wali kota terkait peraturan yang mengatur busana saat bersekolah. Inilah yang diindikasi mengapa sekolah sekolah bahkan perkantoran mewajibkan penggunaan jilbab di Sumatra Barat,” kata dia.

“Pada 2011, Padang juga sempat mengeluarkan Perda nomor 5  tentang Penyelenggaraan Pendidikan, di mana di dalamnya menyatakan 'Siswa dan pelajar itu mengikuti pesantren ramadhan, didikan subuh, dan memakai pakaian muslimah'. Ini juga yang mungkin digunakan sebagai rujukan oleh sekolah sekolah di Sumatra barat,” sambungnya.

Yefri juga menyinggung falsafah hidup orang Minang, menjadikan Islam sebagai landasan utama dalam tata pola prilaku dalam nilai-nilai kehidupan, yang digunakan untuk melegitimasi kewajiban penggunaan jilbab. Padahal, kata dia, falsafah itu dimaknai secara beragam, bahkan oleh orang Minang sendiri.

“Karena Orang Minang itu sebetulnya lebih mengenal pada falsafah ‘alamtakambang jadi guru’ jadi kita belajar dari apa yang telah terjadi dan berupaya untuk mensinkronkan kehidupan dengan apa yang sebetulnya terealisasi dalam kehidupan,” jelasnya.

Perlu diketahui bahwa falsafah itu sendiri sebetulnya baru, sekitar abad 19, setelah adanya perang padri, konflik antara kaum adat dan ulama, dimana falsafah tersebut hadir untuk sebagai upaya untuk kembali mengharmonisasikan kehidupan bermasyarakat.

“Jadi itu lebih ke bagaimana mengelola konflik sosial yang ada di masyarakat, bukan soal pakaian,” tutupnya.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menegaskan, pemerintah tidak akan memaklumi guru dan kepala sekolah yang melakukan pelanggaran dalam hal intoleransi. Menurutnya, peristiwa yang terjadi di SMKN 2 Padang beberapa waktu lalu adalah bentuk tindakan intoleransi.

Kasus yang terjadi di SMKN 2 Padang, Sumbar memang sempatmenuai sorotan lantaran meminta siswi non-Muslim menggenakan jilbab. Nadiem meminta pemerintah daerah memberikan sanksi tegas pada sekolah terkait hal ini.

"Sejak menerima laporan tersebut, Kemendikbud koordinasi dengan pemda untuk segera mengambil tindakan tegas. Saya mengapresiasi gerak cepat pemerintah daerah terhadap pihak-pihak yang terbukti melakukan pelanggaran," kata Nadiem dalam sebuah video resmi dari Kemendikbud, Ahad (24/1).

Menyusul kasus SMKN 2 Padang, pemerintah kemudian membuat kebijakan terkait seragam dan atribut melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Choulil Qoumas. Terdapat enam poin dalam kebijakan ini, yaitu:

  1. Keputusan bersama ini mengatur sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda).
  2. Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara : Seragam dan atribut tanpa kekhususan agama atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
  3. Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
  4. Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan.
  5. Jika terjadi pelanggaran terhadap keputusan bersama ini, maka sanksi akan diberikan kepada pihak yang melanggar.
  6. Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan keputusan bersama ini, sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement