Senin 01 Mar 2021 12:31 WIB

Mahfud, Artidjo, dan Harapan Besar untuk MA

Saat menjadi hakim agung Artidjo siap tidak memiliki kawan.

Dewan Pengawas (Dewas) KPK periode 2019-2023 Artidjo Alkostar. Pada Ahad (28/2), mantan Hakim Agung Artidjo meninggal dunia.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Dewan Pengawas (Dewas) KPK periode 2019-2023 Artidjo Alkostar. Pada Ahad (28/2), mantan Hakim Agung Artidjo meninggal dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Rizkyan Adiyudha, Antara

Mantan Hakim Agung Mahkamah Agung (MA), Artidjo Alkostar, telah berpulang ke Rahmatullah. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, memiliki berjuta kenangan dengan sosok yang dikenal tak neko-neko dengan para narapidana korupsi itu.

Baca Juga

Kepada Republika Mahfud menceritakan hal yang pernah ia lalui bersama dengan Artidjo. Salah satunya terjadi pada November 1990, saat Mahfud berangkat ke Amerika Serikat (AS) sebagai peneliti akademik di Colombia University, New York. Kesempatan ia dapatkan setelah menerima beasiswa Sandwich Program ke AS.

"Urusan-urusan saya di Amerika relatif lancar dan mudah karena di sana sudah ada Mas Artidjo Alkostar yang menjemput dan mengatur tempat tinggal dan urusan administrasi saya," kata Mahfud lewat pesan singkat, Senin (1/3).

Artidjo kala itu memang memang sudah lebih dahulu berangkat dan bekerja sebagai sukarelawan di Asia Watch yang dipimpin oleh Sydney Jones di New York. Selama delapan bulan di New York, Mahfud mengaku mempunyai acara rutin dengan pria yang sama-sama berasal dari Madura itu.

"Kalau hari Jumat kami janjian ketemu di masjid untuk sholat Jumat di Islamic Center. Kalau Sabtu kami makan siang di restoran Asia, termasuk restoran India. Jika ke restoran India, Mas Artidjo suka memesan nasi briyani," ungkap dia.

Baca juga : Menkumham: Integritas Artidjo Selalu Menginspirasi

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu melihat sosok Artidjo sebagai inspirator bagi penegakan hukum dan demokrasi. Ingatan Mahfud kembali berputar jauh ke belakang, yakni kejadian pada tahun 1978. Saat di mana dia baru mulai kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, dan Artidjo sudah menjadi dosen muda.

"Mas Artidjo sudah menjadi dosen muda sehingga ikut mengajar saya. Dosen muda yang lain, antaranya, adalah Dahlan Thaib. Kedua dosen muda tersebut menginspirasi saya untuk menjadi dosen," terang Mahfud.

Dahlan Thaib dia sebut memiliki retorika yang sangat bagus, selalu tampil rapi, dan tampan sebagai dosen. Sementara Artidjo merupakan sosok dosen muda yang ketika mengajar selalu membawa banyak buku yang tebal.

Menurut Mahfud, Artidjo selalu membedah kasus-kasus konkret yang pelik ke dalam buku-buku tebal itu. Hal itulah yang ia kagumi dari sosok Artidjo. Dari sanalah Mahfud terinspirasi ingin menjadi dosen dan pejuang seperti Artidjo.

"Begitu lulus dari Fakultas Hukum UII saya langsung mendaftar sebagai dosen, saya tidak pergi ke Jakarta untuk mencoba mencari pekerjaan lain yang dianggap lebih menjanjikan secara ekonomis. Saya mantap ikut jejak Mas Artidjo," kisahnya.

Baca juga : 10 Amalan yang Pahalanya Dibangunkan Rumah di Surga

Mahfud juga mengingat ketika Artidjo masih menjadi hakim agung. Saat itu, Mahfud pernah menyampaikan protes teman-teman Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Protes itu terkait seorang tokoh papol yang alumni HMI yang hukumannya dinaikkan hampir dua kali lipat dari hukuman di tingkat PN oleh Artidjo.

"Sebagai Ketua Umum Presidium KAHMI saya sampaikan kritik teman-teman kepada Mas Artidjo karena dianggap menghukum terlalu berat," jelas dia.

Sebagai orang hukum, Mahfud sejak mula sudah tahu hal itu tidak akan ada gunanya jika disampaikan kepada Artidjo. Namun, akhirnya dia tetap menyampaikannya sembari tertawa-tawa kepada Artidjo. Mahfud juga menyampaikan soal pandangan rekannya di KAHMI terhadap Artidjo saat itu.

"Menurut teman-teman ada kesan umum Artidjo tak pernah menghukum tidak berat orang yang diadilinya, tak pernah mau mengampuni," kata Mahfud. "Saya juga alumni HMI, tapi saya tetap harus menegakkan hukum dan menghukum koruptor dengan berat meski dia anggota KAHMI," balas Artdijo kepada Mahfud saat itu.

Soal kesan tidak pernah tidak menghukum orang juga Artidjo bantah saat itu. Artidjo menunjukkan kepada Mahfud beberapa vonis yang membebaskan orang yang dijatuhi hukuman korupsi di Pengadilan Negeri (PN)  dan Pengadilan Tinggi (PT) tetapi ternyata tidak bersalah.

"Dia hanya dikorupsikan sehingga dibebaskan oleh Mas Artidjo pada kasasi di tingkat MA," kata Mahfud.

Bac juga : 9 Tanda Anda Mungkin Pernah Terkena Covid-19 tanpa Sadar

Tanggal 18 Agustus 2020 merupakan terakhir kali Mahfud bertemu langsung dengan Artidjo. Sehari sebelumnya, Mahfud mendapat kabar dari murid setianya, Ari Yusuf Amir dan Sugito, soal sakit dan diagnosis adanya masalah dengan jantung dan paru-paru di tubuh Artidjo.

"Tapi Mas Artidjo tak mau dirawat di rumah sakit meski dokter sangat merekomendasikan. Oleh sebab itu saya meminta tolong kepada Menteri Kesehatan (Menkes), Dokter Terawan, untuk bisa dirawat di apartemennya," terang Mahfud.

Mahfud menerangkan, saat itu Menkes mengirim dokter dan perawat ke apatemen Artidjo pada tanggal 18 Agustus 2020. Pada saat itulah Mahfud ikut menemui Artidjo di apartemennya. Selain Menkes, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, kemudian juga mengirim adiknya yang dokter ahli jantung untuk merawat kesehatan Artidjo.

"Hari Minggu, 28 Februari 2021, ternyata Mas Artidjo pergi untuk selamanya. Dia menghadap Allah dengan damai," jelas Mahfud.

Di tahun 2018, Republika pernah mewawancarai Artidjo saat dia pensiun sebagai hakim agung. Dia mengungkapkan kala itu, tak ada yang berani dengan dia karena sikap tegasnya. Ia juga sudah berkata kepada keluarganya, yang menjadi famili atau saudara adalah Artidjo Alkostar, bukan hakim agung.

"Kalau hakim agungnya itu bukan (keluarga atau famili). Jangan coba-coba untuk memengaruhi hakim agung," kata Artidjo di Media Center Mahkamah Agung, Jumat (25/5).

Pria berusia 70 tahun yang berencana mengangon kambing di kampungnya pascapurnatugas itu menuturkan, saat menjadi hakim agung, dia siap untuk tak berkawan. Beda dengan dulu ketika masih menjadi advokat, setelah menjadi hakim, ia siap untuk tidak memiliki kawan, siapa pun itu.

"Orang terdekat pun tak saya temui. Saya jarang bergaul dengan orang yang berpotensi untuk berperkara. termasuk ya para pengacara, dibatasi meski habitat saya pengacara," tambah dia.

Artidjo memasuki masa pensiun setelah bertugas selama 18 tahun. Selama bertugas, ia telah menangani tak kurang dari 19.708 berkas perkara. Ia pun berharap agar MA dapat menjadi lebih baik lagi ke depannya, dan ia percaya kala itu harapan tersebut akan tercapai.

"Saya percaya pengganti saya nanti lebih baik dari saya. Dengan demikian, MA ini berhak untuk menatap masa depan yang lebih baik, dengan indikator-indikator perbaikan yang selama ini sudah dilakukan dibandung tahun 2000 dulu," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement