REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal menetapkan Papua, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Bali sebagai wilayah tempat minuman keras (miras) alias minuman beralkohol boleh diproduksi secara terbuka. Perpres ini menuai polemik dan penolakan dari sejumlah tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Untuk itu, Dewan Pimpinan (DP) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat akan mengeluarkan pernyataan sikap resmi untuk menanggapi Perpres Nomor 10 Tahun 2021. Sebelumnya pimpinan MUI provinsi dan sejumlah ketua MUI pusat telah menyampaikan sikapnya.
"Sikap resmi Majelis Ulama Indonesia kami terbitkan besok (Selasa)," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI, Buya Amirsyah Tambunan melalui pesan singkat kepada Republika.co.id, Senin (1/3).
MUI Provinsi Papua dan Papua Barat langsung menanggapi Perpres tersebut. Sebab mereka melihat langsung dampak buruk dari peredaran miras di tanah Papua. Bahkan tingkat kematian akibat miras cukup tinggi di Papua.
Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Muhammad Cholil Nafis, juga menegaskan banyak mudharat dari investasi miras. Menurutnya, bagaimana bangsa Indonesia bisa maju kalau otaknya diracuni miras. "Jadi (penjualan miras) mendapat hasil sedikit, tapi mudharatnya lebih besar,”
Baca juga : PWNU Jabar tak Setuju Investasi Miras, Mudharatnya Banyak
Dia menyebutkan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) mencatat 2014 lebih dari tiga juta orang yang mati karena miras, itu (korban) Covid-19 sekarang tidak sampai segitu.
Hal senada diungkapan Ketua MUI Bidang Seni dan Budaya, Ustadz Jeje Zaenudin. Dia menegaskan, dampak kerusakan moral anak bangsa akan jauh lebih besar harganya dibanding harapan keuntungan materi dari investasi miras.
Ustadz Jeje mengatakan, Presiden Joko Widodo dalam hal ini seperti mengabaikan tanggung jawab moralnya atas masa depan akhlak bangsa. "Harusnya segala peluang yang bisa menimbulkan dampak kerusakan akhlak dicegah melalui peraturan. Bukan sebaliknya malah diberi legalitas hanya karena mengharap keuntungan materil dengan masuknya investasi asing," ujarnya.
Beberapa tahun sebelumnya, pada 2017 silam Gubernur Papua Lukas Enembe mengeluarkan pernyataan. Menurut dia, sebanyak 22 persen kematian di Tanah Papua disebabkan konsumsi miras. Hal itu membuat miras jadi salah satu penyebab terkikisnya populasi penduduk asli Papua selain penyakit-penyakit di daerah tersebut.
Laporan Polda Papua mengiyakan asumsi tersebut. Data yang dilansir pada 2019 menyimpulkan bahwa 1.485 kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan 277 warga meninggal sebagian besar terjadi didahului konsumsi miras.
Baca juga : Hoaks Catut KH Maruf Amin di Tengah Isu Investasi Miras
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPA) Papua juga melansir bahwa minuman keras menjadi pemicu utama kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di berbagai daerah di Papua.