Senin 01 Mar 2021 16:58 WIB

Izin Produksi Miras Terbuka Kebijakan yang Sangat Buruk

Izin produksi miras terbuka, terancam menjadi masyarakat pemabuk.

Sejumlah ibu rumah tangga di kawasan perbatasan RI-PNG yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Anti Miras dan Narkoba didampingi Kepala Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Papua Anike Rawar (tengah) memberi isyarat menolak miras dan narkoba di Papua, Kamis (3/12). Wadah tersebut digagas untuk menekan angka kematian Ibu dan Anak di Kota Jayapura, Papua. ANTARA FOTO/Indrayadi TH/nz/15..
Foto: ANTARA FOTO
Sejumlah ibu rumah tangga di kawasan perbatasan RI-PNG yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Anti Miras dan Narkoba didampingi Kepala Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Papua Anike Rawar (tengah) memberi isyarat menolak miras dan narkoba di Papua, Kamis (3/12). Wadah tersebut digagas untuk menekan angka kematian Ibu dan Anak di Kota Jayapura, Papua. ANTARA FOTO/Indrayadi TH/nz/15..

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi dan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), DR Anthony Budiawan, mengatakan, keputusan pemberian izin produksi miras secara terbuka yang diberikan pada tiga wilayah di kawasan timur Indonesia adalah kebijakan ekonomi yang buruk. Bahkan, dari segi finansial sebenarnya tak akan mendapat pemasukan dana bagi negara yang banyak.

''Orang-orang di NTT, Papua, dan Sulawesi Utara sudah banyak yang protes. Ini protes dari semua kelompok umat beragama. Untuk Papua, misalnya, banyak orang terpelajar di sana melihat kebijakan ini akan membuat orang Papua makin tersingkir, seperti orang Aborigin di Asutralia, yang sempat begitu bebas mengonsumsi alkohol,'' kata Anthony, kepada Republika.co.id (1/2).

Menurut Anthony, bila kebijakan produsi miras dibuka, sementara konsumsi miras tetap ditutup juga tak akan berati banyak. Investor tetap tidak akan masuk karena ada kebijakan yang saling bertolak belakang.

''Investor juga tak mau bila miras yang diproduksi itu beredar dan dikonsumsi secara gelap di tempat yang tertentu itu. Maka, mereka jelas enggan datang untuk menanamkan uangnya. Jadi, ini kebijakan yang sangat buruk karena memang paradoks,'' ujarnya.

Selain pendapatan cukai miras akan tetap kecil, misalnya dibandingkan dengan cukai rokok, miras juga akan membuat masalah baru dalam berbagai persoalan sosial. Kejahatan dan kecelakaan pasti akan naik bila miras semakin dilonggarkan.

Baca juga : PWNU Jatim Harap Ma’ruf Ingatkan Jokowi Soal Perpres Miras

''Ketika masyarakat sudah kecanduan miras, nantinya polisi juga bingung mengatasi imbas lainnya. Ini berangkat dari pengalaman di Amerika ketika para polisi di Chichago pada 1930-an melakukan perang dalam mengatasi peredaran miras yang meluas. Mereka tembak-menembak dengan para mafia yang menguasai peredaran miras di sana. Korban pun berjatuhan,'' katanya.

Dan, efek miras pun sudah terjadi dalam beberapa hari terakhir. Tiba-tiba di kawasan dekat wilayah Bandara Soekarno-Hatta ada kejadian memilukan ketika seorang polisi yang mabuk miras menembaki orang yang ada di sekitarnya hingga tewas. ''Ini kan menyedihkan. Yang tewas itu salah satunya adalah anggota tentara,'' ujar Anthony menegaskan.

''Kaau dilihat dari angka pendapatan dari cukai atau pajak miras, ya segitu-gitu saja. Angkanya pendapatan dari cukai minuman alkohol cuma Rp 7,3 triliun pada 2019. Sedangkan, rokok cukainya mendapatkan dana hingga Rp 173 triliun,'' ujarnya lagi.

Tragisnya, Anthony menambahkan, kalau memang pendapatan cukai minuman beralkohol mau ditingkatkan, ini artinya konsumsi minuman beralkohol juga harus ditingkatkan. Akhirnya, masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat pemabuk.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement