REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat sosial dari Universitas Nasional, Nia Elvina menanggapi Peraturan Presiden (Perpres) soal perizinan investasi minuman keras (Miras) di empat provinsi di Indonesia yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara dan Papua. Menurutnya, kebijakan tersebut kurang tepat untuk membantu perekonomian di dalam masyarakat.
"Saya kira dengan adanya kebijakan pemerintah tersebut, masyarakat menilainya kurang konstruktif untuk mendongkrak perekonomian atau dengan kata lain membuka lapangan pekerjaan," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (1/3).
Kemudian, ia melanjutkan masyarakat lebih mengutamakan pemerintah mendukung, membuat aturan dan mengeluarkan kebijakan yang mendukung berkembangnya UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Sebab, masyarakat menganggap proteksi dan subsidi terhadap perkembangan UMKM ini masih rendah dari pemerintah.
"Jika UMKM berkembang akan banyak menyerap tenaga kerja dan mereka tidak akan 'hengkang' ke luar negeri jika sudah berkembang," katanya.
Sebelumnya diketahui, pemerintah telah menetapkan industri minuman keras sebagai daftar positif investasi (DPI). Sebelumnya, industri minuman beralkohol merupakan bidang insdustri tertutup.
Baca juga : Miras Bakal Beredar Hingga Kaki Lima
Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Beleid yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini telah diteken Presiden Joko Widodo dan mulai berlaku per 2 Februari 2021.
Aturan tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam Lampiran III Perpres Nomor 10 Tahun 2021 pada angka 31, 32, dan 33 ditetapkan bahwa bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan setempat.