REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perang Thaf di Karbala berujung pada kematian cucu Rasulullah ﷺ, al-Husain. Tragedi pada tahun 61 Hijriah itu merupakan musibah yang begitu besar.
Dikutip dari buku Hasan dan Husain the Untold Story karya Sayyid Hasan al-Husaini, dalam kondisi luka dan kehausan, al-Husain tetap bertahan sepanjang hari itu. Siapa pun yang maju untuk menghabisinya pasti langsung mundur kembali karena takut ditimpa petaka jika sampai membunuhnya. Andai pasukan Kufah mau menghabisi nyawanya, tentu mereka bisa melakukan itu dengan begitu mudah.
Akan tetapi, setiap orang berharap bukan dirinya yang membunuh cucu Rasulullah ini, tetapi rekannya yang lain. Di tengah-tengah kerumunan musuh, al-Husain berkata: "Apakah untuk membunuhku kalian harus melakukannya beramai-ramai?" (Al Bidayah wan Nihayah).
Saudari al-Husain, Zainab binti Fathimah, masih hidup siang itu. Dia segera menghampiri sang kakak dan berkeluh: "Oh, andai saja langit runtuh menimpa bumi!" (Al Bidayah wan Nihayah).
Kondisi ini terus berlangsung sampai Syamr bin Dzul Jausyan tiba. Melihat al-Husain masih hidup, laki-laki durjana ini pun marah besar kepada pasukannya. Dia berkata: "Apa-apaan kalian! Apa lagi yang kalian tunggu?" (Tarikh al-Islam).
Akhirnya pasukan Kufah memberanikan diri untuk mengepung al-Husain lebih dekat. Al-Husain berusaha melawan dengan mengayunkan pedangnya ke kanan dan kiri. Tidak disangka, mereka lari menjauhinya persis seperti kambing yang lari ketakutan ketika melihat hewan pemangsa. Al-Husain bahkan sempat membunuh beberapa orang. Namun sebesar apa pun keberanian seorang al-Husain, ia tetap kalah jika harus melawan pasukan yang begitu banyak.
Abdullah bin Ammar mengisahkan: "Aku melihat sendiri detik-detik ketika al-Husain dikepung pasukan Kufah. Ia menyerang siapa pun yang mendekat dari sebelah kanannya, sampai-sampai mereka ketakutan menghadapinya. Demi Allah, belum pernah kulihat orang yang sudah kalah tetapi tetap tegar melebihi al-Husain, padahal waktu itu anak-anak dan seluruh pasukannya telah gugur. Sungguh, aku belum pernah melihat seorang pun seperti dia, baik selama hidupnya maupun setelah kematiannya" (Al Bidayah wan Nihayah).
Pasukan Kufah terus mengepung al-Husain dari segala penjuru hingga akhirnya Zur'ah bin Syarik at-Tamimi berhasil menebas bahu kiri al-Husain disusul dengan bagian pundaknya. Dua tebasan pedang itulah yang membuatnya tersungkur ke tanah. Mereka pun meninggalkannya begitu saja (Al Bidayah wan Nihayah).
Setelah itu, Sinan bin Anas an-Nakha'i datang menghampiri tubuh al-Husain yang sudah tergeletak tidak berdaya. Sejurus kemudian, dia menghunjamkan tombaknya ke tulang selangka sang Imam, lalu mencabutnya dan menghunjamkannya kembali tepat di bagian bawah dada. Dan kali ini al-Husain pun benar-benar tumbang, tidak bernyawa lagi (Tarikhul Islam). Belum puas dengan itu, Sinan bin Anas kemudian jongkok dan memenggal kepala al-Husain! (Al Bidayah wan Nihayah).
Menurut salah satu sumber, yang membunuh al-Husain adalah Syamar bin Dzul Jausyan. Namun menurut Ibnu Katsir, pembunuhnya adalah Sinan bin Anas dan inilah pendapat yang masyhur (Al Bidayah wan Nihayah). Sementara sumber lain menyatakan bahwa yang memenggal kepala al-Husain adalah Khauli al-Ashbahi (Tarikhul Islam).
Andai saja orang-orang yang zalim itu sekadar membunuh al-Husain, kekejian mereka tidak akan terlihat sesadis ini. Akan tetapi, mereka juga menjagalnya hingga memisahkan kepala sang Imam dari badannya. Patutkah al-Husain diperlakukan sedemikian keji? Bukankah Nabi ﷺ pernah bersabda bahwa al-Hasan dan al-Husain adalah raihanah beliau di dunia ini? Apakah para pembunuh itu tidak tahu bahwa raihanah itu diciptakan untuk dicium karena wanginya, bukan untuk dijagal, ia hadir untuk diusap, bukan untuk dicabut nyawanya?
Air mata kaum muslimin pantas berderai, hati ini layak bersedih ketika teringat akan petaka ini. Namun tidak ada ucapan terbaik yang keluar dari lisan kita selain Inna lillahi wa inna ilahi raji'un.
Ibnu Taimiyah menerangkan: "Tidak diragukan bahwa al-Husain terbunuh secara teraniaya dan mati sebagai seorang syahid, begitu pula orang-orang yang wafat seperti dirinya. Pembunuhan terhadap al-Husain merupakan kemaksiatan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Siapa pun yang terkait dengan pembunuhan itu, baik pelakunya secara langsung atau secara tidak langsung, bahkan orang yang membenarkan pembunuhan tersebut, mereka semua sama-sama berdosa.
Tumpahnya darah al-Husain merupakan musibah bagi kaum Muslimin, baik dari keluarga al-Husain ataupun yang lainnya. Adapun bagi al-Husain sendiri, kematiannya merupakan syahid dan ujian itu akan mengangkat derajatnya. Allah telah menggariskan sebuah kebahagiaan bagi al-Husain dan kakaknya, al-Hasan, yang hanya akan diraih melalui musibah. Itu karena keduanya tidak memiliki keutamaan dalam hal senioritas seperti yang dimiliki Ahlul Bait sebelumnya. Wajar saja, keduanya tumbuh dewasa dalam didikan Islam dalam suasana yang mulia dan aman. Maka dari itulah al-Hasan meninggal dunia karena diracun, sedangkan al-Husain meninggal dunia karena dibunuh, agar dengan kematian seperti itu keduanya meraih kedudukan orang-orang yang berbahagia dan para syuhada" (Minhajus Sunnah).