Selasa 02 Mar 2021 07:43 WIB

AS Dorong Pembahasan Krisis Myanmar di DK PBB

AS akan menekan Myanmar untuk membatalkan kudeta dan memulihkan pemerintahan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
 Pengunjuk rasa anti-kudeta melarikan diri dari gas air mata yang diluncurkan oleh pasukan keamanan di Yangon, Myanmar, Senin, 1 Maret 2021. Massa yang menentang kembali ke jalan-jalan kota terbesar Myanmar pada hari Senin, bertekad untuk melanjutkan protes mereka terhadap perebutan kekuasaan oleh militer. bulan lalu, meskipun pasukan keamanan telah menewaskan sedikitnya 18 orang di seluruh negeri hanya sehari sebelumnya.
Foto: AP
Pengunjuk rasa anti-kudeta melarikan diri dari gas air mata yang diluncurkan oleh pasukan keamanan di Yangon, Myanmar, Senin, 1 Maret 2021. Massa yang menentang kembali ke jalan-jalan kota terbesar Myanmar pada hari Senin, bertekad untuk melanjutkan protes mereka terhadap perebutan kekuasaan oleh militer. bulan lalu, meskipun pasukan keamanan telah menewaskan sedikitnya 18 orang di seluruh negeri hanya sehari sebelumnya.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) akan mendorong pembahasan krisis Myanmar di Dewan Keamanan (DK) PBB. Washington memegang kursi kepresidenan di badan beranggotakan 15 negara itu bulan ini.

"Saya berharap menggunakan waktu kami sebagai presiden Dewan (Keamanan) untuk mendorong diskusi yang lebih intens (soal krisis Myanmar)," kata Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield kepada wartawan pada Senin (1/3). Dia menyebut pembahasan itu bakal segera digelar.

Baca Juga

Thomas-Greenfield mengungkapkan, AS siap menggunakan keterlibatannya yang diperbarui di PBB dan secara internasional untuk menekan militer Myanmar agar membatalkan tindakannya serta memulihkan pemerintah yang dipilih secara demokratis. “Namun kekerasan yang kami lihat terjadi sekarang tidak menunjukkan bahwa mereka siap untuk membuat apa yang saya anggap sebagai keputusan mudah untuk mereka buat. Jadi kami harus meningkatkan tekanan,” ujarnya.

PBB belum mengakui pemerintahan junta militer Myanmar pasca-kudeta. Hal itu karena PBB belum menerima pemberitahuan resmi tentang perubahan apa pun dalam pemerintahan atau perwakilan PBB.

"Kami belum menerima komunikasi apa pun mengenai perubahan representasi Myanmar di sini di PBB, di New York. Rekan kami dalam protokol juga tidak menerima informasi apa pun dari Misi Permanen di Myanmar tentang perubahan apa pun dalam pemerintahan," kata Juru Bicara Sekretaris Jenderal PBB Stephane Dujarric.

Aksi menentang kudeta militer di Myanmar masih berlanjut. Sedikitnya 18 orang telah tewas di tangan pasukan keamanan. Jatuhnya korban sipil telah memantik protes dan kecaman internasional, termasuk dari PBB dan Uni Eropa.

Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi muncul untuk pertama kalinya pada Senin lalu. Dia menghadiri persidangan secara virtual. Sejak ditangkap pasca-kudeta 1 Februari lalu, Suu Kyi telah menerima empat dakwaan. Pertama dia dituduh melanggar hukum karena kepemilikan walkie-talkie impor ilegal.

Suu Kyi juga didakwa melanggar undang-undang penanggulangan bencana alam. Dua dakwaan terbaru yang diterimanya adalah melanggar aturan terkait Covid-19 selama kampanye pemilu November tahun lalu dan memicu "ketakutan dan kecemasan".

Untuk dua dakwaan awal, Suu Kyi dapat terancam hukuman penjara tiga tahun. Belum diketahui ancamann untuk dua dakwaan lainnya. Persidangan Suu Kyi bakal dilanjutkan pada 15 Maret.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement