REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres Nomor 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang memuat kebijakan investasi industri minuman beralkohol atau miras. Kebijakan ini menuai pro dan kontra karena dipandang lebih banyak dampak negatifnya.
Pakar pembangunan sosial dan kesejahteraan UGM, Dr Hempri Suyatna menilai, kebijakan itu justru mendorong produksi miras kian tidak terkendali dan konsumsi miras semakin masif. Kemudian, pengusaha akan membuka pola pikir agar mereka memperoleh keuntungan.
"Mendorong investasi miras lebih luas dan massif, sehingga konsumsi miras di kalangan masyarakat semakin meningkat. Justru, dampak negatif lebih kuat daripada positifnya meskipun itu hanya diberlakukan di empat provinsi saja," kata Hempri, Selasa (2/3).
Dia melihat, Perpres ini membuka paradigma investasi. Namun, tidak memperhatikan aspek moral, etika dan kesejahteraan masyarakat. Hempri berharap, ini tidak memberi ruang ke pemilik modal tertentu mengabaikan aspek moral dan etika yang dipertahankan masyarakat.
"Oleh karena itu, mengusulkan agar Presiden Joko Widodo untuk menarik kembali kebijakan soal investasi miras di empat provinsi ini demi menjaga moralitas masyarakat. Presiden sebaiknya menarik Perpres ini demi moralitas," ujar Hempri.
Baca juga : Komisi Fatwa MUI Minta Perpres Investasi Miras Dicabut
Hempri berpendapat, legalisasi miras dengan alasan membuka keran investasi dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat kurang tepat. Sebab, pemerintah bisa mengalihkan kepada investasi-investasi lain seperti pengelolaan pertanian dan produk UMKM daerah.
Selain itu, Hempri khawatir bila kebijakan yang akan melegalisasi miras ini tetap dipaksakan bisa menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat. Mulai dari konflik horizontal antar masyarakat maupun konflik vertikal masyarakat dengan pemerintah.
"Apalagi, benturan dikaitkan konteks agama, halal dan haram, potensi rawan konflik sangat besar sekali. Sekali lagi, Perpres ini lebih banyak negatifnya daripada sisi positifnya," kata Hempri.