REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan apresiasi kepada Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) yang mencabut lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 tahun 2021 terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras (miras). MUI menunggu salinan tertulis pencabutan Perpres tersebut.
"Kita menunggu salinan keputusannya. (Ini menjadi) kunci edukasi, pengawasan, sehingga tidak menggunakan miras secara sembarangan, karena akan bisa berbahaya untuk generasi kita di masa mendatang," Sekretaris Jenderal MUI, Buya Amirsyah Tambunan, saat konferensi pers di Gedung MUI Pusat, Selasa (2/3).
Dia menyampaikan, di satu sisi MUI memang mengapresiasi pencabutan tersebut. Namun di sisi lain, MUI terus melakukan aksi yang sifatnya pendampingan atau advokasi, sosialisasi, dan edukasi sehingga dampak penyalahgunaan minol dapat dihindari.
Ketua MUI Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, menyatakan apresiasi yang sama. Hari ini Presiden telah secara bijak mengambil aspirasi di tengah masyarakat, pandangan MUI, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan elemen masyarakat.
“MUI menyampaikan apresiasi sebesar-besarnya atas keseriusan pemerintah, atas respons cepat dari presiden yang mendengar aspirasi masyarakat," kata Asrorun.
Baca juga : Jokowi Cabut Poin Perpres Soal Investasi Miras
Asrorun melanjutkan, MUI tetap berkomitmen untuk berperang melawan segala hal yang dapat merusak masyarakat. Terlebih lagi hal tersebut dapat menyebabkan tindak kejahatan, yang dapat mengganggu proses perwujudan masyarakat yang beragama dan beradab.
Dia menyebutkan, di samping ikhtiar melalui pencabutan lampiran, miras di beberapa daerah MUI berharap ini menjadi momentum peneguhan komitmen menyusun regulasi yang memihak kepada kemaslahatan, dan me-review seluruh peraturan perundang-undangan yang menyebabkan disrupsi termasuk perundang-undangan yang memungkinkan adanya produksi dan penyalahgunaan miras di tengah masyarakat.
Asrorun mengungkapkan, dalam penyusunan perundang-undangan, idealnya pemerintah turut melibatkan civil society, sebagai bagian dari tata cara perundangan. Namun dalam Perpres nomor 10 tahun 2021, MUI disebutkan tidak memperoleh informasi secara memadai.
"Dalam Perpres ini MUI jujur tidak memperoleh informasi secara memadai. Bisa jadi karena dibahas secara simultan dalam banyak turunan dari Cipta Kerja. Di dalamnya ada puluhan yang dibahas. Ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita agar penyusunan bisa dilakukan dengan pelibatan stakeholder, menyelami suasana kebatinan dan norma di tengah masyarakat," ucap Asrorun.
Senada dengan Asrorun, Wasekjen MUI, Iksan Abdullah mengatakan, pemerintah ke depan dapat melibatkan berbagai pihak dalam mengeluarkan perundang-undanganan. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya penolakan di masyarakat.
"Yang dicabut itu ada hal-hal yang berkaitan dengan penanaman modal kategori miras, mungkin ke depan kita minta kepada pemerintah agar setiap membuat regulasi yang bersinggungan dengan umat, maka tentu beliau harus mengajak diskusi sehingga produk-produk yang dihasilkan itu tidak mendapatkan penolakan dari masyarakat," kata Iksan.
Baca juga : Soal Miras, Muhammadiyah Minta Presiden Dengar Aspirasi Umat
Sebelumnya pada Selasa siang, Presiden Jokowi menghapus poin dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang mengatur pembukaan investasi industri minuman keras, yang mengandung alkohol.
"Saya putuskan, lampiran perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," ujar Jokowi dalam keterangannya.
Dia menyebutkan, keputusan diambil setelah dia mempertimbangkan masukan dari para ulama, termasuk dari MUI, Muhammadiyah, NU, dan tokoh agama lain. Pencabutan poin tentang pembukaan investasi miras, kata Presiden, juga mempertimbangkan masukan dari provinsi dan daerah.