REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ali Mashar, Lc MA
NU dan Muhammadiyah kompak menolak beberapa poin dalam lampiran Perpres yang mengatur pembukaan investasi baru industri miras.
Seperti biasanya, penolakan dari kedua ormas Islam terbesar di Indonesia ini disampaikan dengan cara yang elegan, tanpa caci maki apalagi politisasi. Argumennya jelas, cara menyampaikannya berkelas, dan (biasanya) menyelesaikan masalah dengan tuntas. Terbukti, kini presiden Joko Widodo mencabut beberapa poin dalam lampiran tersebut.
Fungsi dan kekuatan “politis” kedua ormas Islam ini saya anggap sebagai perwujudan nyata dari imunitas kultural yang seringkali berhasil menangkal mudharat dan kerusakan yang mengancam bangsa. Baik mudharat itu berupa efek buruk dari kehkilafan penguasa dalam membuat kebijakan, maupun gempuran ideologi dan infiltrasi nilai-nilai dari luar yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.
Cara yang elegan dalam menyampaikan pendapat, baik itu penolakan ataupun dukungan terhadap kebijakan pemerintah, merupakan ciri kedewasaan dan kematangan seseorang atau sebuah kelompok. Jika penolakan NU dan Muhammadiyah terhadap Perpres Investasi Miras diartikan sebagai sebuah ikhtiar nahi munkar, maka cara yang ditempuhnya bisa dikatakan sudah sangat tepat.
Dalam kitab Al-Amr bi al-Ma’ruf Wa Al-Nahy ‘An Al-Munkar, Imam Ahmad bin Hanbal mengutip perkataan bijak para ulama yang mengatakan bahwa “Orang yang engkau sakiti, atau engkau lukai perasaannya, tidak akan mengikuti (nasihat)mu.” Jika orang biasa saja bisa marah dan menjauh dari kita ketika kita sakiti perasaannya, apalagi seorang penguasa atau pejabat yang memiliki kedudukan.
Baca juga : Gus Miftah Ungkap 'Miras' yang Halal Dikonsumsi
Nah, jika “nasihat” yang kita sampaikan itu ternyata justru menjauhkan manusia dari ajakan kebaikan kita karena disampaikan dengan cara yang menyakiti perasaan, maka kandaslah tujuan mulia dakwah dan ajakan kebaikan tersebut.
NU dan Muhammadiyah dengan basis keagamaan dan keilmuannya serta komitmen kebangsaannya, terbukti menjadi kekuatan penyeimbang yang mampu menjalankan Amr Ma’ruf dan Nahi Munkar dengan cara yang tepat, beretika, dan sesuai dengan ajaran agama. NU dan Muhammadiyah memberikan nasihat yang baik dan bersedia mengikuti sistem yang berlaku. NU dan Muhammadiyah tidak memiliki agenda politik mengganti sistem bernegara Republik Indonesia.
Setiap orang yang gemar memberi “nasihat” kepada penguasa perlu bertanya pada diri sendiri, apakah cara yang dilakukannya sudah tepat sesuai dengan kaidah moral dan agama? Benarkah yang dilakukan itu memiliki tujuan baik, atau hanya kendaraan untuk mencari popularitas politik?