REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pemerintah Inggris meminta pertemuan dengan Dewan Keamanan PBB mengenai Myanmar pada Jumat (5/3) mendatang. Hal ini dianggap perlu dilakukan menyusul situasi pascakudeta di negara Asia Tenggara itu yang terus mengkhawatikan.
Pertemuan itu dijadwalkan untuk dilakukan secara tertutup. Sebelumnya, Dewan Keamanan PBB telah menyuarakan keprihatinan yang mendalam atas kudeta dan menyerukan pembebasan terhadap semua tahanan yang ditangkap oleh militer.
Misi diplomatik China untuk PBB mengatakan ada kesepakatan umum di antara anggota dewan keamanan untuk segera melakukan pertemuan terkait Myanmar. Situasi di Myanmar pascakudeta pada 1 Februari lalu diwarnai ketegangan, dengan banyaknya demonstran yang turun ke jalan menyuarakan protes dan menuntut penegakan demokrasi.
Aksi protes yang awalnya digelar secara damai mendapat respons keras dan berujung bentrokan. Pasukan keamanan Myanmar dilaporkan menembakkan peluru tajam dan gas air mata ke pengunjuk rasa pada demonstrasi yang digelar pada Selasa (2/3), menyebabkan sedikitnya tiga orang terluka parah.
Pasukan keamanan telah memberlakukan tindakan keras terhadap demonstran yang menentang militer. Dalam sebuah laporan PBB, secara keseluruhan sejak satu bulan kudeta dan aksi protes digelar di Myanmar, terdapat 18 pengunjuk rasa yang tewas.
Kudeta militer terjadi di Myanmar setelah ketegangan yang meningkat antara pemerintah sipil dan militer, akibat sengketa pemilihan umum. Sengketa dimulai setelah November 2020 ketika Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi memenangkan cukup kursi untuk membentuk pemerintahan. Militer menggugat kemenangan mutlak Suu Kyi itu dan akhirnya memilih mengkudeta.