REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: dr Berlian I Idris, Pengurus IDI Tangerang dan Pemerhati Kesehatan Masyarakat
Setahun sudah sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan Presiden Jokowi. Namun, belum ada tanda pandemi akan segera berakhir. Kasus baru malah masih terus bertambah. Walaupun bukan tongkat ajaib, vaksinasi bisa jadi harapan.
Masyarakat sangat berharap vaksinasi ini sukses, berjalan lancar, dan target cakupannya cepat tercapai.
Namun, per 1 Maret 2021, laman resmi Satgas Covid-19 pemerintah, covid19.go.id melaporkan, baru sejutaan warga yang sudah divaksinasi dosis kedua dari total 181 jutaan target penduduk. Ini baru 0,55 persen dari target.
Setelah tahap satu bagi SDM kesehatan, tahap dua bagi petugas pelayanan publik dan lansia baru dimulai 17 Februari, lebih dari sebulan setelah Presiden divaksin pada 13 Januari 2021, itupun masih secara terbatas.
Pelaksanaan yang lambat ini menimbulkan pertanyaan besar, kapan Indonesia mencapai target cakupan populasi untuk kekebalan kelompok?
Bloomberg pada 9 Februari 2021 memprediksi, dengan kecepatan vaksinasi saat laporan itu ditulis, Indonesia bisa jadi baru mendapatkan kekebalan kelompok dan mengeliminasi Covid-19 dalam 10 tahun mendatang. Prediksi yang tentu saja dibantah pemerintah.
Baca juga : Arab Saudi Wajibkan Jamaah Haji 2021 Vaksinasi Covid-19
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Hiariej dalam webinar PB IDI, 9 Januari 2021 menyatakan, masyarakat yang menolak vaksinasi Covid-19 bisa dijatuhi hukuman pidana.
Ini disampaikan sebelum Presiden Jokowi, orang pertama di republik ini menerima suntikan vaksin. Saat itu, penggunaan vaksin produksi Sinovac di Indonesia masih terbatas pada relawan uji klinis. Masyarakat belum tahu sepenuhnya keamanan dan efektivitas vaksin yang tersedia.
Kesehatan pada hakikatnya hak setiap warga negara. Negara mengancam rakyat dengan hukuman pidana bagi yang tak mau mendapatkan hak mereka, mungkin serupa orang tua mengancam anak yang tidak mau makan dengan kurungan di kamar.
Sang anak belum mengetahui keamanan dan manfaat makanan tersebut. Masalahnya, rakyat adalah anak negara yang sudah besar. Ada potensi makin diancam makin melawan dan mengajak teman-temannya.
Padahal bila dijelaskan bahwa hal itu aman dan bermanfaat, bukan tidak mungkin sang anak berubah pikiran. Dalam penanganan pandemi, jelas pernyataan Wamenkumham ini blunder, paling tidak dari perspektif komunikasi kesehatan.
Tak heran pada 15 Februari, Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, ia menegur Wamenkumham. Menurut Menkes, seharusnya strategi komunikasi publik agar vaksinasi sukses adalah dengan merangkul dan meyakinkan rakyat.
Baca juga : Fraksi PAN: Biro Hukum Kepresiden Kurang Peka
Menarik untuk menelaah lebih lanjut pernyataan Wamenkumham yang juga guru besar hukum pidana UGM itu.
Ia merujuk Pasal 93 UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang menyatakan setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat bisa dipidana dengan penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp 100 juta.
Vaksinasi bukan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dalam arti spesifik yang diatur dalam UU tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pasal 1 ayat 1 UU ini menjelaskan, yang dimaksud kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Ayat 6 pasal yang sama menjelaskan, karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang undangan meskipun belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi.
Hukum pidana berasas lex certa dan lex stricta yaitu memiliki rumusan pasti dan tidak dapat dimaknai lain. Dengan asas ini, jelas tidak tepat bila memaksakan vaksinasi sebagai penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, apalagi memidana orang yang menolaknya.
Dapat diterima bila sanksi pidana ini diterapkan pada orang yang keluar masuk daerah karantina tanpa alasan yang legal. Namun kita ketahui, selama pandemi ini pemerintah tidak pernah menerapkan karantina wilayah.
Tujuan vaksinasi dari perspektif kesehatan masyarakat, untuk mengejar terbentuknya kekebalan kelompok. Target yang ditetapkan pemerintah untuk Covid-19 adalah 70 persen dari total populasi. Untuk bisa dianggap menyebabkan ‘kedaruratan kesehatan masyarakat’, maka jumlah penolak harus melebihi 30 persen total populasi.
Secara epidemiologi, jumlah mereka yang menolak vaksinasi Covid-19 tidak signifikan untuk menyebabkan kegagalan pencapaian kekebalan kelompok.
Baca juga : 500 Pengurus MUI akan Divaksin Covid-19
Survei Kementerian Kesehatan, ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization), WHO, dan UNICEF terhadap 112.888 responden mengenai penerimaan vaksinasi Covid-19 yang dipublikasikan November 2020 mengungkapkan, hanya 7,6 persen yang jelas menolak vaksin, 64,8 persen setuju, dan 27,6 persen tidak punya pendapat.
Jelas, pernyataan Wamenkumham tak hanya blunder komunikasi publik yang membuat ia ditegur Menkes, secara substantif argumentasinya juga tidak tepat. Setahun menjalani pandemi, masyarakat melihat banyak kekurangan pemerintah dalam menangani wabah ini.
Masyarakat juga masih ingat pernyataan para pejabat yang meremehkan Covid-19, apalagi sebelum kasus pertama diumumkan. Jangan menambah antipati masyarakat dengan kekacauan komunikasi, apalagi dengan pernyataan yang mengancam.
Benar kata Menkes, komunikasi saat pandemi ini haruslah merangkul dan meyakinkan. Kita memahami, vaksinasi Covid-19 pada hakikatnya layanan kesehatan preventif untuk mencegah terjadinya penyakit, yang merupakan hak warga negara.
Usaha preventif ini termaktub dalam Pasal 1 ayat 13 UU 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal 4 UU yang sama menyatakan, setiap orang berhak atas kesehatan dan pada pasal 5 (2) dinyatakan setiap orang mempunyai hak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Lebih lanjut, pasal 5 ayat (3) jelas menyebutkan, setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Pasal ini secara tidak langsung seolah mengatakan, warga negara berhak menolak apa yang mereka anggap tidak diperlukan apalagi bila mereka anggap tidak aman.
Ketimbang mengancam rakyat, seharusnya pemerintah meyakinkan masyarakat vaksinasi Covid-19 aman dan bermanfaat karena survei yang sama melaporkan dua alasan utama penolakan adalah keraguan soal keamanan vaksin (30 persen) dan soal efektivitasnya (22 persen).
Kalau yakin vaksin ini aman dan efektif, rakyat bukan hanya bersedia, mereka akan menuntut haknya divaksinasi. Inilah yang umumnya terjadi, kita melihat antrean masyarakat menuntut hak mendapatkan vaksin, sementara pemerintah seperti tertatih-tatih memenuhinya.