REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim kajian Undang-Undang Infomasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah merampungkan pengumpulan sejumlah masukan dari narasumber pelapor dan terlapor kasus UU tersebut. Ada perbedaan pendapat dari pihak terlapor dan pelapor kasus UU ITE.
"Secara pribadi saya inginnya dihapus, tapi karena saya juga paham ada kebutuhan, karena saya juga mengakui juga memahami, secara global banyak negara masih belajar mengatur medium internet," ujar salah satu terlapor, Ravio Patra, dalam siaran pers Tim Kajian UU ITE, Rabu (3/3).
Hal yang terjadi di Indonesia, kata Ravio, pelaksanaannya terlalu cepat, beringas, tidak ada moderasi, dan direspons dengan berlebihan. Menurut dia, hukum semestinya menciptakan ketertiban, bukan memunculkan kekacauan di kalangan masyarakat.
Ravio menceritakan bagaimana pengalamannya berhadapan dengan pihak kepolisian saat dilaporkan terkait dengan UU ITE. Saat itu, dia difitnah sebagai mata-mata asing suatu negara dan dicaci maki. Karena memiliki prinsip UU ITE merupakan bentuk pengekangan kebebasan sipil, maka dia tak melaporkan orang-orang itu.
"Kalau saya tidak punya prinsip bahwa UU ITE ini bentuk mengekang kebebasan sipil, saya bisa laporkan orang-orang yang ketika saya mengalami kriminalisasi tahun lalu misalnya, kalau saya hitung ada ratusan orang yang bisa saya UU ITE-kan," kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, Prita Mulyasari, ibu rumah tangga yang juga pernah bersinggungan dengan UU ITE, lebih menekankan kepada pentingnya edukasi di media sosial agar tidak terjebak dalam kasus hukum. Ia mengatakan itu karena melihat banyak kasus di media sosial karena mereka tidak memahami akan UU ITE.
"Saya lihat banyak juga kasus-kasus yang masih anak-anak muda dengan tanpa berpikir dua kali langsung memberikan posting di media sosial. Dan itu mereka tidak banyak berpikir bahwa akan ada akibatnya di undang-undang ITE ini," ujar Prita.
Di sisi lain, dari pihak pelapor, menginginkan sebaliknya dari apa yang Ravio sampaikan. Artis Nikita Mirzani, misalnya, tidak setuju jika UU ITE dihapuskan.
Ia juga meminta agar aparat bertindak cepat dalam menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan UU ITE. "UU ITE jangan dihapus, kalau dihapus nanti pada bar-bar netizennya pada ngaco soalnya," ujar Nikita usai menceritakan pengalaman dan alasannya melaporkan orang ke pihak berwajib.
Sementara Ketua Umum Cyber Indonesia, Muanas Alaidid, meminta pemerintah berhati hati dalam merevisi sejumlah pasal di UU ITE. Itu mesti dilakukan agar ke depannya tidak lagi muncul persoalan yang baru akibat revisi yang dilakukan.
Menurut Muannas, jangan sampai kemudian niat baik revisi UU ITE, dia mengambil contoh pasal 27 ayat 3 yang disebut sebagai pasal karet, dihapus dan media sosial malah menjadi ajang saling menghujat satu sama lain. Selain pasal 27 ayat 3, dia juga menyebut pasal 28 ayat 2 UU ITE.
"Bapaknya dihina, ibunya dihina, ya mungkin itu akan menjadi persoalan kalau kemudian tidak dilaporkan. Baik pasal 27 ayat 3. pasal 28 ayat 2 ITE. Jadi saya kira ini harus hati-hati dalam persoalan revisi UU ITE,“ jelas Muannas.
Ketua Tim Revisi UU ITE, Sugeng Purnomo, berharap masukan dari narasumber dapat menjadi bahan dalam diskusi tim dalam pembahasan selanjutnya yang akan diadakan oleh sub tim I dan sub tim II. Pembahasan lanjutan tersebut rencananya akan dilakukan pada pertemuan pekan depan.
“Ini bisa dimanfaatkan untuk mengadakan diskusi-diskusi terkait dengan berbagai masukan, saran, pandangan dari berbagai narasumber mulai dari sesi pertama sampai ketiga pada siang hari ini," ujar Sugeng.