REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pentagon menyatakan keprihatinannya tentang laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengindikasikan kemungkinan pemrosesan ulang bahan bakar nuklir untuk bom oleh Korea Utara, Selasa (2/3). Aktivitas semacam itu dinilai dapat meningkatkan ketegangan dengan Pyongyang.
Kepala intelijen untuk komando Indo-Pasifik AS, Laksamana Muda Michael Studeman, mengatakan aktivitas Korea Utara yang disorot pekan ini oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dapat mendapatkan perhatian pemerintahan Joe Biden. Upaya Pyongyang tersebut dinilai sebagai alat tekanan untuk tawar-menawar keringanan sanksi. Pemerintah Biden pun sedang meninjau kebijakan AS-Korea Utara.
"Kami mengawasi ini. Dan sangat memprihatinkan ke mana Korea Utara ingin pergi, " kata Studeman dalam acara virtual tentang teknologi dan keamanan.
Dalam sebuah pernyataan kepada Dewan Gubernur IAEA pada Senin (1/3), direktur jenderal IAEA, Rafael Mariano Grossi, merujuk pada aktivitas di fasilitas nuklir Yongbyong dan Kangson Korea Utara. Dia mengatakan, baru-baru ini ada indikasi beroperasinya pembangkit listrik tenaga uap yang melayani laboratorium radiokimia. Korea Utara telah menggunakan laboratorium radiokimia di Yongbyon untuk memproses kembali plutonium dari reaktor di sana untuk dijadikan bom nuklir.
Grossi menyebut, kelanjutan aktivitas nuklir Korea Utara sebagai pelanggaran yang jelas terhadap sanksi PBB dan sangat disesalkan. Mengacu pada pernyataan Grossi, Studeman dewan gubernur IAEA mengeluarkan pemberitahuan bahwa ada bukti bahwa Korea mungkin memproses ulang bahan bakar nuklir.
"Jika itu benar, maka itu bisa menempatkan kita pada tingkat ketegangan yang berbeda dengan Korea," kata Studeman.
Menurut Studeman, upaya itu mungkin awal dari sesuatu yang dirancang untuk mempengaruhi pemerintahan Biden. "Ini mungkin cara pertama untuk mendapatkan perhatian pemerintahan baru di sini, di mana mungkin (Korea Utara) akan menggunakan pengembangan pemrosesan ulang ini sebagai alat tawar-menawar untuk semacam keringanan sanksi," katanya.
Pemerintahan Presiden Biden sedang melakukan peninjauan penuh atas kebijakan Korea Utara menyusul keterlibatan mantan Presiden Donald Trump yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un. Kedua kepala negara ini gagal membujuk Pyongyang untuk menyerahkan senjata nuklirnya.