REPUBLIKA.CO.ID, MANDALAY -- Demonstrasi penolakan kudeta oleh militer Myanmar terus berkembang semakin keras. Petugas medis pun ikut turun mempertaruhkan nyawa membantu korban-korban yang terluka.
Gerakan Pembangkangan Sipil telah menghambat sistem kesehatan formal di seluruh negeri. Pejabat dari Rumah Sakit Umum Yangon mengatakan kepada Radio Free Asia pada 9 Februari bahwa sebanyak 80 persen rumah sakit pemerintah telah ditutup.
Untuk memenuhi kebutuhan medis publik, penyedia layanan kesehatan sekarang menawarkan layanan secara sukarela di luar fasilitas pemerintah. Namun, tindakan keras yang semakin meningkat membuat banyak petugas layanan kesehatan mempertaruhkan nyawa mereka sendiri untuk memberikan perawatan.
Petugas medis turun langsung menyelamatkan orang-orang yang bergabung dalam protes. "Tantangan terbesar bukanlah tertembak saat kami membantu di lapangan. Peluru juga bisa mengenai kita; kita juga bisa mati kapan saja," kata perawat sukarelawan di ibu kota Negara Bagian Kachin, Myitkyina, Ze Nan.
Wilayah salah satu kota terbesar Myanmar, Mandalay, telah menyaksikan beberapa kekerasan terburuk sejak kudeta. Kondisi itu membuat Aye Nyein Thu dan sekitar 30 sukarelawan profesional perawatan kesehatan memberikan tanggap darurat di seluruh kota.
Aye Nyein Thu telah berjalan di antara para demonstran dengan tas punggung berisi beberapa persediaan dasar untuk menghentikan pendarahan dan mensterilkan luka. Sejauh ini, dia telah menawarkan pertolongan pertama darurat kepada sekitar 10 orang dan mengatur layanan ambulans relawan untuk mengangkut korban ke sebuah klinik untuk perawatan lebih lanjut.