REPUBLIKA.CO.ID, oleh Meiliza Laveda, Zainur Mashir Ramadhan, Sapto Andika Candra, Iit Septyaningsih
Suara penolakan terhadap izin investasi minuman keras (miras) dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 diketahui justru datang dari Papua. Para tokoh Papua kompak menolak izin investasi industri miras yang sebelumnya sempat diatur dalam Perpres 10/2021.
“Lama-lama ini bisa menjadi pemicu awal pengembangan narkotika atau judi. Makin lama Indonesia seperti negara narkotika yang pendapatannya melalui uang kotor. Ini harus dikritisi,” kata tokoh Papua sekaligus Mantan Komisioner Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Natalius Pigai kepada Republika.co.id, Selasa (2/3).
Dia menjelaskan, miras bukan budaya Papua dan banyak orang di Papua meninggal karena miras. Padahal, jika ingin melakukan investasi di Papua, banyak bidang lain yang lebih baik. Misalnya, pinang, sagu, atau papeda. Itu semua lebih bermatabat dan profesional.
Selain itu, Natalius mempertanyakan siapa dalang di balik perpres ini. Jika memang terbukti konsepnya berasal dari Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, itu berarti Bahlil tidak berkompeten menjadi pemimpin. Natalius tak tinggal diam meminta presiden mengevaluasi kepala BKPM karena tidak mampu bertugas.
“Dia tidak sopan membangun investasi berbasis miras atau alkohol di Papua. Dia menjadi pemimpin yang menghancurkan masyarakat saya. Kalau mau mengembangkan investasi banyak dari Sumber Daya Alam (SDA) yang bisa dimanfaatkan bukan dari miras,” ujar dia.
Ketua Yayasan Papua Muda Inspirasi, Rini S. Sutrisno Modouw menjelaskan banyak dampak negatif jika investasi miras dilegalkan. Angka kriminalitas kata dia akan naik signifikan karena rata-rata orang yang mengonsumsi miras adalah pengendara motor dan mobil.
Baca juga : Poin Investasi Miras tak Cukup Hanya Dicabut dari Perpres
“Ini juga memengaruhi anak-anak di Papua. Jadi kalau ada investasi miras tanpa diiringi dengan pengetahuan masyarakat atau kontrol dari pemerintah dengan mengadakan pusat rehabilitas misalnya, itu akan menjadi lebih menyakitkan. Bisa membuat Sumber Daya Manusia (SDM) Papua hancur,” kata Rini.
Sebab, saat ini saja masih banyak anak remaja yang mengonsumsi miras tidak terkontrol. Walaupun ada aturan batasan umur untuk membeli miras, bisa saja para remaja diberi oleh orang lain.
“Mereka (para remaja) bisa dibelikan orang miras lalu diajak minum. Kadang mereka minum sampai tidur di pinggir jalan. Itu kan tidak terkontrol,” tambah dia.
Rini menjelaskan, situasi SDM di Papua belum siap menerima investasi miras. Nantinya, jika perpres tersebut dilegalkan, jangka panjangnya akan berdampak pada genosida dalam arti dari sisi pembunuhan karakter.
“Menurut saya karena warga Papua termasuk anak remaja belum siap diberikan aturan, pendidikan belum kuat, lingkungan yang permisif. Orang tua tidak mampu melarang anak-anaknya. Di usia remaja mereka sedang banyak mencari cari jati diri,” ucap dia.
Sementara itu, Anggota Kelompok Kerja Agama Majelis Rakyat Papua (MRP), Dorius Mehue mengatakan investasi miras di Papua sama saja membunuh orang Papua. “Ada potensi SDA banyak tapi kenapa harus miras? Investor bisa menanamkan modal untuk hal positif yang dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat kami,” kata dia.
Baca juga : Miras Berlabel Halal Muncul Lagi, Cek Faktanya
Dorius menambahkan, banyak kasus yang dipicu miras, salah satunya kekerasan. Oleh karena itu MPR Papua sudah melakukan koordinasi dengan pihak Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polda Papua.
“Kalau untuk penanaman modal siapa saja silakan tapi untuk hal baik yang bisa mengangkat potensi SDA dan berkoordinasi oleh masyarakat adat juga. Miras kan dampaknya banyak, kekerasan bahkan menyebabkan tingkat perceraian tinggi. Bahkan anak-anak juga banyak yang jadi korban,” ujar dia.
Wakil Gubernur Papua Barat, Mohammad Lakotani menyatakan telah menerima masukan dari tokoh agama mulai dari Kristen, Protestan, Katolik, dan Islam. Mereka menyampaikan keberatan terkait penempatan Papua sebagai daerah untuk investasi di bidang miras.
“Tanpa investasi besar di bidang miras saja tingkat konsumsi di Papua sangat tinggi dan mengganggu. Berbagai stabilitas keamanan dan kecelakaan sebagian besar dipicu oleh persoalan miras. Oleh karena itu, para tokoh agama dan masyarakat menyampaika keberatan terkait legalisasi miras,” kata Mohammad saat dihubungi Republika, Senin (1/3).
Perpres tersebut kata dia membuat pemda berada dalam kondisi dilema. Sebab, di satu sisi ini merupakan kebijakan pemerintah pusat untuk mendorong investasi di daerah. Namun, di lain sisi ada dampak yang dihindari oleh pemda.
Beberapa daerah di Papua Barat menetapkan peraturan daerah antimiras. Misal, Kabupaten Fakfak dan Kabupaten Kaimana ada peraturan daerah yang melarang miras diberlakukan.
“Di Kota Sorong juga ada perda tahun 2017 yang diberlakukan pelarangan miras golongan tertentu,” ucap dia.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Imam Prasodjo menampik jika, miras beralkohol merupakan budaya atau kearifan lokal dari suatu daerah. Menurut dia, jika ditilik secara harfiah, kearifan lokal adalah perilaku kolektif yang bijak dan tumbuh di komunitas lokal serta bernuansa positif.
"Jadi tergantung kita mendefinisikan apa itu budaya dan kearifan lokal. Salah kaprahnya di situ," ujar dia kepada Republika, Selasa (2/3).
Imam menambahkan, miras memiliki konotasi minum dan memabukkan. Konotasi itu, ia sebut jauh dari makna budaya, apalagi kearifan lokal. Sehingga, pemahaman tersebut diklaimnya, bisa menjadi penjelas apakah minuman beralkohol itu berkonotasi positif atau negatif dalam kehidupan berbangsa.
Di luar negeri, kata dia, ada kontroversi alkohol tidak akan memabukkan jika diminum sedikit. Namun, pemahaman warga di negara maju pun, ia nilai banyak yang tidak bisa mengontrol alkohol, sehingga muncul istilah alkoholik.
Oleh sebab itu, kondisi serupa juga tidak akan berbeda di Indonesia. Malah, dengan dilegalkannya minuman beralkohol, komplikasi masalah sosial di Indonesia ia tegaskan bisa menjadi komplikasi dan masalah besar.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemarin, telah resmi menghapus poin dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang mengatur tentang pembukaan investasi industri miras yang mengandung alkohol. Ini disampaikan presiden dalam keterangan pers di Istana Merdeka, Selasa (2/3) siang.
"Saya putuskan, lampiran perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," ujar Jokowi dalam keterangannya.
Ia menyebutkan, keputusan ini diambil setelah dirinya mempertimbangkan masukan dari para ulama, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, NU, dan tokoh agama lain. Pencabutan poin tentang pembukaan investasi miras, imbuh presiden, juga mempertimbangkan masukan dari provinsi dan daerah.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menilai, keputusan yang diambil Presiden jadi bukti sikap demokratis kepala negara terhadap masukan-masukan yang konstruktif untuk kebaikan bangsa. Namun, Bahlil juga meminta pengertian kalangan pengusaha atas keputusan tersebut.
Ia meminta dukungan pengusaha untuk bisa melihat kepentingan negara yang lebih besar. "Saya juga memahami kepada teman-teman dunia usaha yang menginginkan agar ini (aturan perizinan) dilanjutkan, kita harus melihat mana kepentingan negara yang lebih besar. Apalagi kita semua umat beragama," pesannya.