REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono menyampaikan, kasus seorang ibu bernama Isma Khaira (33) yang ditahan bersama bayinya sudah masuk ke proses pengadilan. Namun, setelah Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat edaran terkait penanganan kasus UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) maka pihaknya mengedepankan restorative justice.
Kasus ini bermula saat Isma merekam video pertengkaran seorang kepala desa di Aceh Utara. Kemudian ia mengunggahnya di akun media sosial miliknya. Namun kepala desa tersebut tidak terima dengan postingan Isma dan melaporkanya ke polisi dengan aduan pencemaran nama baik.
Selanjutnya, berdasarkan laporan kepala desa tersebut, Isma dinyatakan bersalah dan divonis tiga bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Lhoksukon. Akibatnya, Isma bersama bayinya mulai masuk penjara sejak tanggal 19 Februari 2021 lalu.
"Yang jelas setelah keluar surat edaran kapolri nomor dua masalah-masalah yang berhubungan dengan interpersonal, yang berhubungan dengan UU ITE, Polri akan mengedepankan restorative justice, membuka ruang mediasi seluas-luasnya," tegas Rusdi dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (3/3).
Lebih lanjut, kata Rusdi, kalau proses mediasi tidak tercapai maka tetap dilakukan penegakan hukum tetapi tidak dilakukan penahanan oleh Polri. Jadi, proses tetap berjalan tapi tidak dilakukan penahanan. Menurutnya, hal ini bagian Polri betul-betul menempatkan penegakan hukum itu jadi proses paling akhir.
"Jadi proses mediasi yang akan dikedepankan dalam menangani kasus-kasus yang berhubungan UU ITE apalagi hanya masalah personal saja," kata Rusdi.
Namun, Rusdi menegaskan, jika ada pelanggaran hukum yang sudah berdampak nanti terhadap memecah belah bangsa, akan menimbulkan konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat, maka Polri akan menindak tegas semuanya. Hal ini berbeda dengan kssus-kasus yang berhubungan interpersonal.
"Kalau sudah memecah bangsa, memecah belah, ganggu ketertiban umum, polri akan tindak tegas," tegas Rusdi.