Kamis 04 Mar 2021 08:29 WIB

Setengah dari Pasien Covid ICU di Jerman Berlatar Imigran

Muslim terdiri lebih dari 50 persen dari mereka yang berada dalam perawatan intensif

Rep: Mabruroh/ Red: Esthi Maharani
 Orang-orang mengantre di depan pusat vaksinasi penyakit COVID -19 di
Foto: AP/Michael Sohn
Orang-orang mengantre di depan pusat vaksinasi penyakit COVID -19 di

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Kepala rumah sakit paru-paru Jerman mengatakan, lebih dari 90 persen pasien Covid-19 yang paling parah dan dirawat di ICU adalah imigran Muslim.

"Muslim terdiri lebih dari 50 persen dari mereka yang berada dalam perawatan intensif, meskipun jumlahnya kurang dari 5 persen dari populasi Jerman," kata Presiden Robert Koch Institute, Prof Lothar Wieler dilansir dari The National News, Kamis (4/3).

Menurut surat kabar Bild, Thomas Voshaar dari Klinik Paru di Rumah Sakit Bethanien di Moers, Jerman barat, mengatakan infeksi Covid-19 menyerang komunitas imigran. Hal ini juga disebutkan dalam data statistik yang dikumpulkan dari bangsal perawatan intensif pada akhir tahun lalu dan awal 2021.

"Menurut analisis saya, lebih dari 90 persen pasien yang diintubasi, yang paling terinfeksi parah selalu berlatar belakang imigran," katanya dalam konferensi.

“Kami sepakat di antara kami sendiri bahwa kami harus menggambarkan mereka ini sebagai 'pasien dengan hambatan komunikasi'. Kami nampaknya tidak dapat menjangkau mereka," sambungnya.

Menurut Prof Wieler temuan itu adalah masalah nyata. “Ada masyarakat paralel di negara kita. Anda hanya dapat melakukannya dengan pekerjaan penjangkauan yang tepat di masjid-masjid, tetapi kami tidak berhasil dan itu menyebalkan," ungkapnya.

Secara terpisah, Kanselir Angela Merkel mengadakan pembicaraan dengan gubernur negara bagian tentang rencana memperpanjang penguncian hingga akhir Maret. Meskipun sudah banyak sekolah dan salon berharap untuk bisa buka kembali.

Jerman telah memulai penguncian toko sejak 16 Desember dan restoran sejak 2 November. Sekitar 5,3 persen dari populasi Jerman telah diberikan setidaknya satu kali dosis vaksin.

Pihak berwenang juga dikabarkan didesak untuk membatalkan keputusan memberikan vaksin AstraZeneca pada masyarakat berusia di atas 65 tahun, karena kekhawatiran tentang keefektifannya. Kebijakan ini menyebabkan penumpukan dosis vaksin AstraZeneca yang tidak terpakai, dengan sekitar dua pertiga dari 1,4 juta yang dikirim masih dalam penyimpanan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement