REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Hukum gadai dalam Islam diperbolehkan dengan syarat dan ketentuan syariat yang ada. Namun bagaimana jika yang digadaikan adalah barang milik bersama?
Imam Syafii dalam kitab Al-Umm yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Republika Penerbit menjabarkan, tidak apa-apa alias diperbolehkan hukumnya bagi seseorang untuk menggadaikan barang yang kepemilikannya hanya separuh baginya.
Beliau berkata: “Tidak apa-apa apabila seseorang menggadaikan setengah tanahnya, setengah rumahnya, dan satu bagian dari beberapa bagian dari itu yang dimiliki bersama dan tidak dibagikan. Jika semuanya diketahui dengan jelas dan apa yang dia gadaikan juga diketahui dengan jelas. Tidak ada perbedaan antara hal itu dan jual-beli lainnya.
Sebagian orang mengatakan bahwa objek gadai tidak dibolehkan kecuali apabila berstatus dikuasai (maqbudh) dan dibagikan (maqsum) tanpa bercampur dengan yang lain. Kalangan tersebut mengajukan argumentasi demikian dengan hujah berupa dalil yang berasal dari Alquran Surah Al-Baqarah ayat 283.
Namun demikian, Imam Syafii berkata: “Kenapa objek gadai tidak dibolehkan kecuali jika berstatus dikuasai dan dibagikan, padahal mungkin saja ia berstatus dikuasai tetapi ia masih berupa barang milik bersama dan belum dibagikan?”.
Namun orang yang berada dalam pendapat yang bersebelahan dengan Imam Syafii justru menanyakan bagaimana bisa mengetahui separuh bagian milik si penggadai dan mana yang bukan miliknya. Kemudian, Imam Syafii menjawab: “Bukankah uang dinar, dirham, dan benda-benda kecil ‘dikuasai’ dengan menggunakan tangan? Sementara rumah ‘dikuasai’ dengan penyerahan kunci-kuncinya. Sementara tanah dikuasai dengan penyerahan?”.
Orang yang bersebelahan pendapat dengan Imam Syafii akhirnya berkata ya alias menerima nalar argumentasi beliau. Maka demikian, kata Imam Syafii, jelas sudah bahwa arti qabdh sangatlah beragam. Sehingga gadai dengan barang bersama diperbolehkan.
Namun demikian, Imam Syafii juga menekankan bahwa apabila murtahin meninggal dunia sementara objek gadai ada di tangannya, dan si rahin tidak rela pada adanya wasiat, ahli waris tak rela juga, maka hendakah dikatakan kepada ahli warisnya. Jika ahli warisnya sudah akil baligh atau hendaklah dikatakan kepada walinya, namun jika ahli waris belum akil baligh, maka diperlukan sikap kerelaan antara pihak-pihak yang berada dalam lingkaran gadai, termasuk pemilik objek gadai.
Apabila kedua belah pihak kemudian bersedia untuk merelakan, maka hal itu sah. Akan tetapi apabila kedua pihak tidak saling rela, maka penguasa dapat mengalihkan perkara itu kepada seorang penengah. Hal itu terjadi karena rahin tidak rela pada amanah ahli waris dan tidak pula kepada washiy.
Ketika ahli waris memiliki hak untuk menahan objek gadai sampai rahin menunaikan haknya, maka dia juga memiliki hak seperti itu. Yakni jika dia memiliki kuasa atas hartanya. Imam Syafii kemudian berkata: “Apabila rahin meninggal dunia sementara utang sudah mengalami jatuh tempo dan objek gadai dijual, maka apabila utang yang melekat pada objek gadai itu ditunaikan, maka hal itu sah,”.
Beliau melanjutkan apabila ternyata pada harga jual objek gadai terdapat kelebihan, maka kelebihan itu harus dikembalikan kepada ahli waris si orang mati (rahin). Apabila hasil penjualan objek gadai kuang dari utang, maka pemilik hak (yaitu murtahin) dapat menarik sisa haknya dari warisan si orang mati. Akan tetapi, dia sama posisinya dengan semua orang yang diutangi oleh rahin pada utangnya yang masih tersisa itu.