REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai, tuntutan 4 tahun penjara terhadap Djoko Tjandra menunjukkan kurang seriusnya Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam perkara pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) serta penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO).
"Kejaksaan tampak kurang serius dalam kasus ini," kata Zaenur kepada Republika, Kamis (4/3).
Padahal, menurut Zaenur, perkara ini sangat merusak wibawa dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum serta sistem hukum yang terbukti carut marut. Pukat UGM memandang Djoko Tjandra seharusnya dituntut maksimal sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) huruf b UU No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20/2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana yakni hukuman maksimal lima tahun penjara.
"Dalam kasus Djoko Tjandra ini, Djoko Tjandra dituntut 4 tahun, padahal menurut saya seharusnya Kejaksaan menuntut maksimal sesuai yang diatur dalam pasal 5 ayat 1 UU Tipikor yakni hukuman maksimal lima tahun penjara, " ujarnya.
"Kenapa maksimal karena daya rusak perbuatan pelaku ini sangat besar terhadap institusi hukum juga terhadap sistem hukum," tegas Zaenur.
"Dengan tuntutan baik terhadap Pinangki 4 tahun dan sekarang Djoko Tjandra juga 4 tahun. Menurut saya itu seakan-akan menunjukan kurang seriusnya Kejaksaan dalam menyelesaikan kasus ini," tambahnya.
Diketahui, Jaksa Penuntut Umum dari Kejagung, pada Kamis, meminta Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap Djoko Tjandra. Penuntut Umum menyatakan terdakwa perkara pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) serta penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) itu terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa suap kepada pejabat penyelenggara negara.
Ia pun berharap Majelis Hakim dapat meberikan vonis maksimal kepada Djoko Tjandra sesuai dengan aturam UU Tipikor. "Saya harap nanti Hakim dapat menjatuhkan putusan secara maksimal. Misalnya juga memutus jauh lebih tinggi pada tuntutan, " ujar Zaenur
Selain terbukti bersalah, dalam amar tuntutan, penuntut umum juga menolak permohonan Djoko Tjandra untuk menjadi justice collaborator atas surat yang diajukan tertanggal 4 Februari 2021. Penuntut umum menganggap Djoko Tjandra merupakan pelaku utama dalam kasus dugaan suap pejabat negara. Hal tersebut karena Djoko Tjandra berposisi sebagai pihak pemberi suap.
"Menyatakan permohonan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra untuk menjadi justice collaborator tidak diterima," ucap dia.
Djoko Tjandra didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP.