REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Pakar terkemuka PBB tentang kebebasan beragama mengatakan, setelah serangan teroris 9/11 di AS pada 2001 dan tindakan terorisme lainnya yang konon dilakukan atas nama Islam, membuat kecurigaan dan ketakutan institusional terhadap Muslim dan mereka yang dianggap Muslim telah meningkat menjadi proporsi epidemi.
"Islamofobia membangun konstruksi imajiner di sekitar Muslim yang digunakan untuk membenarkan diskriminasi yang disponsori negara, permusuhan, dan kekerasan terhadap Muslim dengan konsekuensi yang mencolok bagi penikmatan hak asasi manusia termasuk kebebasan beragama atau berkeyakinan," kata Shaheed, juga mantan menteri luar negeri Maladewa, dilansir dari Anadolu Agency, Jumat (5/3).
Pakar PBB tersebut mengatakan, Muslim melaporkan mereka sering mendapatkan stigma negatif, rasa malu, dan perasaan mereka adalah komunitas yang dicurigai. Muslim dipaksa memikul tanggung jawab kolektif atas tindakan minoritas kecil.
Laporan tersebut mengutip survei Eropa pada 2018 dan 2019 yang menunjukkan 37 persen populasi memiliki pandangan yang tidak baik terhadap Muslim. Pada 2017, sekitar 30 persen orang Amerika yang disurvei memandang Muslim secara negatif.
Shaheed mengatakan, diskriminasi Islamofobia baik di ranah publik maupun privat seringkali menyulitkan umat Islam untuk menjalankan agama mereka. Pembatasan yang tidak proporsional pada kemampuan Muslim untuk mewujudkan keyakinan mereka, sekuritisasi komunitas agama, batasan akses ke kewarganegaraan, pengucilan sosial ekonomi, dan stigmatisasi yang meluas terhadap komunitas Muslim adalah di antara kekhawatiran mendesak yang dicatat dalam laporan tersebut.
Baca juga : Dibimbing Habib Rizieq, Dua Tahanan Jadi Mualaf
Di negara minoritas Muslim, Muslim sering menjadi sasaran berdasarkan karakteristik yang terlihat, seperti nama, warna kulit, dan pakaian mereka, termasuk jilbab. Perempuan seringkali mendapatkan perlakuan diskriminasi dan permusuhan tiga kali lipat yakni sebagai perempuan, etnis minoritas, dan Muslim.
"Stereotipe dan kiasan yang merugikan tentang Muslim dan Islam secara kronis diperkuat oleh media arus utama, politikus yang kuat, pengaruh budaya populer dan dalam wacana akademis," kata Shaheed.
Laporan tersebut menekankan kritik terhadap Islam tidak boleh digabungkan dengan Islamofobia. Hukum hak asasi manusia internasional melindungi individu, bukan agama.
"Kritik terhadap gagasan, pemimpin, simbol, atau praktik Islam bukanlah Islamofobia; kecuali jika disertai dengan kebencian atau bias terhadap Muslim pada umumnya," kata Shaheed.
"Saya sangat mendorong negara-negara mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memerangi bentuk diskriminasi langsung dan tidak langsung terhadap Muslim dan melarang segala advokasi kebencian agama yang merupakan hasutan untuk melakukan kekerasan," kata pakar PBB itu.
https://www.aa.com.tr/en/europe/anti-muslim-hatred-at-epidemic-proportions-un-expert/2164891